Despondency
Wanita itu...
Pagi-pagi bangun, shalat, menyiapkan sarapan. Dibangunkan olehnya sang suami, supaya tidak telat bekerja, diingatkannya anak-anak untuk segera shalat subuh.
Setelah suaminya sarapan, diantarnya hingga ke depan pintu gerbang rumah. Ia mencium takzim tangan suaminya, mencium pipinya, mengatakan 'hati-hati di jalan'. Anak-anaknya beringsut mendekati, melakukan hal serupa. Dia buka pintu gerbang, melesatlah motor sang suami.
"Assalammualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Hanya pengantar kata pagi itu.
Setelah suaminya pergi, sambil melanjutkan sarapan, berceritalah ia pada putri tertuanya. Sebenarnya, ia dan suaminya bertengkar pagi itu. Hanya karena masalah pengolahan daging qurban.
Suaminya bersikeras memintanya memasak sesuai cara mertuanya (ibu suami), sementara ia punya cara sendiri dalam mengolah daging. Resep turun-temurun dari pihak keluarganya.
Suaminya dengan dingin berkata, "Kalau kamu tidak memasak sesuai yang saya inginkan, saya tidak akan bisa makan."
Putrinya berkata, "Ibu kan bisa bilang 'iya' saja di depan ayah, kan? Kalau memang Ibu nyaman memasak dengan cara ibu sendiri dan ternyata hasil dagingnya lebih empuk, kenapa tidak?"
"Masalahnya ibu tidak bisa, Nak. Entah kenapa. Pada saat ayahmu bilang begitu, sudah natural bagi ibu untuk menurutinya."
Untuk sedikit menyenangkan hatinya, wanita itu akhirnya membuat dua macam hidangan. Satu dibuat dengan cara yang diminta suaminya, satu lagi sesuai dengan caranya. Gepuk dan Steak daging sapi.
Putrinya pergi ke pasar, membeli bumbu-bumbu dapur. Sementara ia mengolah daging di rumah. Dipotong-potong direbus berkali-kali, ditusuk-tusuknya daging hasil qurban itu.
Setelah putrinya pulang, barulah ia mengolah bumbu. Lengkuas, serai, merica, semua diolah menjadi satu. Putrinya yang mencoba rasa masakan, sudah cukup apa belum. Selagi menunggu masakan, ia mencuci piring sementara putrinya mengepel dan menyapu. Suaminya baru pulang sekitar pukul dua siang.
Tak terasa, hidangan itu baru selesai ketika adzan dzuhur berkumandang. Dengan gembira, ia mengambil ponsel berkamera, memotret hidangan itu. Putrinya bertanya kenapa.
"Oh, ibu mau mengirim foto-foto hasil masakan ini pada ayahmu. Supaya tergugah seleranya untuk cepat pulang." katanya sambil tersenyum.
Putrinya mengangguk-angguk.
Waktu berlalu dengan cepat. Dzuhur berganti ashar. Lalu cepat juga berganti maghrib. Selepas shalat maghrib, ia meminta putrinya untuk memasak tempe sementara ia mau mandi terlebih dahulu.
Putrinya berpikir, oh mungkin ayahnya pulang sebentar lagi. Rumah sudah bersih, cucian rapi, piring-piring kesat, dan waktu makan malam hanya tinggal menanti menit. Ibunya memang biasa mempersiapkan diri sebelum ayahnya datang.
Setelah mandi, wanita itu menghampiri putrinya, bertanya apakah tempe gorengnya sudah selesai. Putrinya mengangguk. Ia kemudian mengambil alih katel untuk menggoreng beberapa potong gepuk. Nasi yang mengepul hangat, tempe goreng, gepuk kering, dan steak daging terhidang di meja.
"Ayo makan." ajaknya kepada putrinya.
Saat itu putrinya merasa janggal. Waktu membeku selama sedetik sebelum meluncur kalimat ini, "Ayah tidak pulang hari ini ya, Bu?"
Wanita itu tersenyum agak dipaksakan, "Tidak."
Ya. Suaminya memilih lembur.
---
Bandung, 26 September 2015.
Comments
Post a Comment