Cheating Rules
Cheating secara bahasa bisa diartikan sebagai; mencontek, selingkuh dan berbuat curang. Tapi intinya sih 'berbuat curang'. Curang terhadap Tuhan, istri, suami, diri sendiri maupun orang lain. Aku bukan tipe orang yang suka mencontek. Aku idealis. Bukan berarti aku nggak pernah nyontek. Oh, aku pernah. Lirik kanan-kiri, atau hapal kunci jawaban.
Curang atau menyontek, bisa disebut juga sebagai kebohongan. Menurut data statistik dunia, orang-orang berbohong tiga kali selama pembicaraan 10 menit. Intinya, manusia adalah makhluk yang amat suka berbohong. Bermacam-macam alasannya, termasuk aku.
Bukan berarti itu benar.
Tentu jenis pelajaran apa pun mengajarkan kita tentang kejujuran. Agama mana pun juga mengajarkan kejujuran.
Kebohongan pertama kali dimulai ketika ada suatu kondisi di mana manusia harus berbohong. Menutupi diri dari masalah, melindungi orang lain, yang didasarkan atas ketakutan. Manusia berbohong karena rasa takut. Pada kenyataannya, manusia selalu takut menghadapi hidup, menghadapi kenyataan. Manusia hidup dalam mimpi. Mimpi-mimpi itu mendorong rasa takut, takut tidak mencapai apa yang diinginkan, takut tidak memiliki masa depan yang baik, maka rasa takut itu memicu kebohongan.
Rasa takut dipicu dari tekanan yang ada dalam lingkungan manusia itu sendiri. Mimpi-mimpi muncul karena manusia makhluk yang memiliki imajinasi tinggi, memiliki angan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Takut ada karena keinginan egoisme bagaimana jika tidak bisa merealisasikan mimpi-mimpi tersebut.
Karena itu, hal yang sama berkaitan dengan menyontek.
Aku, sebagai seseorang yang Anti-menyontek, merasa bahwa kebiasaan menyontek ada dan besar dalam kehidupan pelajar karena kondisi yang ada. Bukan karena pelajar kekurangan bimbingan dari orangtua, melainkan karena tuntutan, bahkan terkait guru bersangkutan.
Murid akan belajar untuk jujur, jika guru-guru dapat mengenal mereka dengan baik. Anak-anak dapat jujur, jika orangtua dapat memahami mereka juga.
Kebanyakan murid menyontek karena takut nilai yang jelek. Biasanya ketika sampai pada kesimpulan ini, kebanyakan guru akan berkata, "Lalu, kenapa tidak belajar dengan baik?"
Untuk apa belajar jika tidak mengerti?
Untuk apa belajar jika guru tidak pernah masuk kelas?
Untuk apa belajar jika membosankan?
Ya, sistem dan metoda pembelajaran di sekolah-sekolah masih sangat membosankan. Materi yang dilahap terlalu banyak, dan murid dituntut untuk bisa perfect di seluruh mata pelajaran. Belum lagi, tuntutan orangtua. Ranking dan achievement. Terkadang, tanpa berkata apa-apa pun, anak tahu apa yang didamba orangtua, karena lingkungan dan kondisi yang mejadikan bahwa ranking berarti pintar.
Banyak guru yang bilang mementingkan proses. Pada kenyataannya, nilai yang tercetak tetaplah tumpuan sekolah dalam menentukan keberhasilan seorang murid.
Kemarin, aku dikasih tugas enam puluh soal matematika. Tiga Bab. Tugas itu diberikan H-1 sebelum dikumpulkan. Otomatis, sekelas kami kerja sama. Tidak sempat menghapal rumus trigonometri untuk UAS Matematika esok harinya.
Aku bener-bener kesel. Aku pengen banget ngerjain sendiri, dan nggak bisa. Soalnya susah dan nggak bisa selesai beberapa jam. PLEASE DEH! 60 SOAL!
Nah, tugas semacam ini kan yang tadinya bermaksud baik supaya muridnya latihan soal untuk esok hari, malah jadi manuver buat murid-muridnya. Semua orang begadang semalaman ngerjain soal itu. Besok paginya malah ngantuk ngerjain UAS.
Di sekolahku, sistemnya itu IP. Jadi nilai-nilai diperoleh dengan skala 1-4.
Waktu itu, IP Matematika-ku 2.33. KKM-nya 2.66. Cuma kurang 0.33 Tapi, guruku yang bilang akan menilai proses, malah membuatku harus ngulang semester berikutnya. Aku ngerjain PR, dengan rajin, setiap hari. Dan setiap hari itulah PR itu dicontek teman-teman yang lain.
Apalah arti 0.33?
Kayak, nilai kamu 7,46 sementara KKM-nya 7,5.
Padahal, nggak semua orang bakalan lanjut kuliah pendalaman matematika kan?
Aku berniat masuk fakultas seni kok, meski aku anak IPA. Lagipula ini pelajaran Matematika Peminatan, bukan Matematika Wajib.
Guru-guru, Anda semua tidak bisa egois hanya ingin menjadikan anak murid berpikir dan mengolah data sesuai keinginan Anda. Anda tidak bisa menuntut anak didik untuk menjadi ahli dalam pelajaran sesuai kriteria Anda. Murid-murid punya bakat, potensi, dan keinginan mereka masing-masing.
Hhh... seandainya sistem ini bisa diperbaiki lebih baik. Bahkan aku, yang menempati, 'Indonesian Best Highschool' merasa sistem sekolah dan guruku masih payah. Secara keilmuan mereka hebat, tapi secara metoda masih kurang tepat.
Curang atau menyontek, bisa disebut juga sebagai kebohongan. Menurut data statistik dunia, orang-orang berbohong tiga kali selama pembicaraan 10 menit. Intinya, manusia adalah makhluk yang amat suka berbohong. Bermacam-macam alasannya, termasuk aku.
Bukan berarti itu benar.
Tentu jenis pelajaran apa pun mengajarkan kita tentang kejujuran. Agama mana pun juga mengajarkan kejujuran.
Kebohongan pertama kali dimulai ketika ada suatu kondisi di mana manusia harus berbohong. Menutupi diri dari masalah, melindungi orang lain, yang didasarkan atas ketakutan. Manusia berbohong karena rasa takut. Pada kenyataannya, manusia selalu takut menghadapi hidup, menghadapi kenyataan. Manusia hidup dalam mimpi. Mimpi-mimpi itu mendorong rasa takut, takut tidak mencapai apa yang diinginkan, takut tidak memiliki masa depan yang baik, maka rasa takut itu memicu kebohongan.
Rasa takut dipicu dari tekanan yang ada dalam lingkungan manusia itu sendiri. Mimpi-mimpi muncul karena manusia makhluk yang memiliki imajinasi tinggi, memiliki angan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Takut ada karena keinginan egoisme bagaimana jika tidak bisa merealisasikan mimpi-mimpi tersebut.
Karena itu, hal yang sama berkaitan dengan menyontek.
Aku, sebagai seseorang yang Anti-menyontek, merasa bahwa kebiasaan menyontek ada dan besar dalam kehidupan pelajar karena kondisi yang ada. Bukan karena pelajar kekurangan bimbingan dari orangtua, melainkan karena tuntutan, bahkan terkait guru bersangkutan.
Murid akan belajar untuk jujur, jika guru-guru dapat mengenal mereka dengan baik. Anak-anak dapat jujur, jika orangtua dapat memahami mereka juga.
Kebanyakan murid menyontek karena takut nilai yang jelek. Biasanya ketika sampai pada kesimpulan ini, kebanyakan guru akan berkata, "Lalu, kenapa tidak belajar dengan baik?"
Untuk apa belajar jika tidak mengerti?
Untuk apa belajar jika guru tidak pernah masuk kelas?
Untuk apa belajar jika membosankan?
Ya, sistem dan metoda pembelajaran di sekolah-sekolah masih sangat membosankan. Materi yang dilahap terlalu banyak, dan murid dituntut untuk bisa perfect di seluruh mata pelajaran. Belum lagi, tuntutan orangtua. Ranking dan achievement. Terkadang, tanpa berkata apa-apa pun, anak tahu apa yang didamba orangtua, karena lingkungan dan kondisi yang mejadikan bahwa ranking berarti pintar.
Banyak guru yang bilang mementingkan proses. Pada kenyataannya, nilai yang tercetak tetaplah tumpuan sekolah dalam menentukan keberhasilan seorang murid.
Kemarin, aku dikasih tugas enam puluh soal matematika. Tiga Bab. Tugas itu diberikan H-1 sebelum dikumpulkan. Otomatis, sekelas kami kerja sama. Tidak sempat menghapal rumus trigonometri untuk UAS Matematika esok harinya.
Aku bener-bener kesel. Aku pengen banget ngerjain sendiri, dan nggak bisa. Soalnya susah dan nggak bisa selesai beberapa jam. PLEASE DEH! 60 SOAL!
Nah, tugas semacam ini kan yang tadinya bermaksud baik supaya muridnya latihan soal untuk esok hari, malah jadi manuver buat murid-muridnya. Semua orang begadang semalaman ngerjain soal itu. Besok paginya malah ngantuk ngerjain UAS.
Di sekolahku, sistemnya itu IP. Jadi nilai-nilai diperoleh dengan skala 1-4.
Waktu itu, IP Matematika-ku 2.33. KKM-nya 2.66. Cuma kurang 0.33 Tapi, guruku yang bilang akan menilai proses, malah membuatku harus ngulang semester berikutnya. Aku ngerjain PR, dengan rajin, setiap hari. Dan setiap hari itulah PR itu dicontek teman-teman yang lain.
Apalah arti 0.33?
Kayak, nilai kamu 7,46 sementara KKM-nya 7,5.
Padahal, nggak semua orang bakalan lanjut kuliah pendalaman matematika kan?
Aku berniat masuk fakultas seni kok, meski aku anak IPA. Lagipula ini pelajaran Matematika Peminatan, bukan Matematika Wajib.
Guru-guru, Anda semua tidak bisa egois hanya ingin menjadikan anak murid berpikir dan mengolah data sesuai keinginan Anda. Anda tidak bisa menuntut anak didik untuk menjadi ahli dalam pelajaran sesuai kriteria Anda. Murid-murid punya bakat, potensi, dan keinginan mereka masing-masing.
Hhh... seandainya sistem ini bisa diperbaiki lebih baik. Bahkan aku, yang menempati, 'Indonesian Best Highschool' merasa sistem sekolah dan guruku masih payah. Secara keilmuan mereka hebat, tapi secara metoda masih kurang tepat.
Jadi masuk seni? :))
ReplyDeleteTakdirku ternyata teknik. Wkwkwk. Duh, postingan nyaris 3 tahun yang lalu :"))
Delete