Si Tugas Cerpen
Jadi, ada semacam tugas bikin cerpen dari guru. Berhubung aku udah suka banget sama cerpen, jadi aku ngebut ngerjain dan selesai lebih awal. Totalnya nyaris dua ribu kata. Tapi lalu beberapa minggu kemudian, si ibunya bilang kalau minimal lima ribu kata.
Karena aku ini orangnya perfeksionis, cerpen yang awal aku buat udah nggak bisa lagi ditambah-tambahin. Otomatis aku bikin cerpen baru. Ngebut edan-edanan. Males bikin plot baru dan semacamnya, aku buka folder-folder lama laptop yang isinya kumpulan cerita yang belum selesai. Tinggal tambahin dikit, jadi deh lima ribu.
Aku nemuin satu yang bagus. Yang sesuai genre favorit; Psychological, Crime, Gore. Judulnya Obsession. Nah, si Obsession ini dari awal aku rencanain bakalan jadi berchapter-chapter, tapi karena kepepet, ya udah dirampung semua jadi cerpen. Udah nyampe tiga ribuan kata waktu itu.
Sedihnya, pas udah nyampe lima ribu kata, ceritanya nggak selesai. Itu beneran manuver buatku. Dilanjutin takutnya ngelebihin batas cerpen, yang maksimal tuh sepuluh ribu kata. Kan nanti ribet lagi. Ya udah akhirnya dilanjutin, disingkat-singkatin...
dan voila! Jadi deh sembilan ribu dua kata. Keren kan? Nih aku pos juga sekalian cerpennya. Dua puluh enam halaman. Selamat mabok cerpen. Hahahahahahahaha...
Sebenernya sih, di situs fanfiction tempat biasa aku publikasiin cerita, sepuluh ribu kata untuk satu chapter one-shot itu udah biasa banget. Tapi depan temen-temen kesannya wow gimanaaa gitu. Padahal biasa aja. Beneran deh.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Karena aku ini orangnya perfeksionis, cerpen yang awal aku buat udah nggak bisa lagi ditambah-tambahin. Otomatis aku bikin cerpen baru. Ngebut edan-edanan. Males bikin plot baru dan semacamnya, aku buka folder-folder lama laptop yang isinya kumpulan cerita yang belum selesai. Tinggal tambahin dikit, jadi deh lima ribu.
Aku nemuin satu yang bagus. Yang sesuai genre favorit; Psychological, Crime, Gore. Judulnya Obsession. Nah, si Obsession ini dari awal aku rencanain bakalan jadi berchapter-chapter, tapi karena kepepet, ya udah dirampung semua jadi cerpen. Udah nyampe tiga ribuan kata waktu itu.
Sedihnya, pas udah nyampe lima ribu kata, ceritanya nggak selesai. Itu beneran manuver buatku. Dilanjutin takutnya ngelebihin batas cerpen, yang maksimal tuh sepuluh ribu kata. Kan nanti ribet lagi. Ya udah akhirnya dilanjutin, disingkat-singkatin...
dan voila! Jadi deh sembilan ribu dua kata. Keren kan? Nih aku pos juga sekalian cerpennya. Dua puluh enam halaman. Selamat mabok cerpen. Hahahahahahahaha...
Sebenernya sih, di situs fanfiction tempat biasa aku publikasiin cerita, sepuluh ribu kata untuk satu chapter one-shot itu udah biasa banget. Tapi depan temen-temen kesannya wow gimanaaa gitu. Padahal biasa aja. Beneran deh.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Obsession
Obsesi—pemikiran, dorongan, atau gambaran
berulang yang terus menerus mengganggu, menekan dan diakui sebagai sesuatu yang
berlebihan dan tidak masuk akal yang tidak dapat dihapuskan dengan logika
maupun penalaran. —Kamus Kesehatan.
by Ziaoi
J
|
ejak-jejak
sepatu di tanah yang basah terlihat sangat kentara di sana, tempat mobil-mobil
polisi yang terparkir. Hujan mashi turun, kelewat deras, tapi tak satupun
polisi-polisi itu merasa kalau hujan menghalau pekerjaan mereka yang berarti.
Dengan jas hujan bergaris, mereka menebarkan police line di sekitar tempat itu, meski tidak ada satu pun orang
luar yang berusaha masuk.
Keributan
sirine polisi ditenggelamkan derasnya hujan. Shikamaru, sang kepala
penyelidikan, sudah berusaha menerobos rumah di distrik terpencil itu setelah
mendengar laporan pembunuhan. Dan benar, di dalam rumah itu ada mayat wanita.
Tubuhnya sudah dipotong dalam beberapa bagian, jantungnya hilang. Hanya ada
kepalanya yang masih utuh, berada dalam jarak lima meter dari tubuhnya.
Darah
yang berceceran di mana-mana membuat Shikamaru merasa mual. Apalagi saat salah
satu tim investigasinya menemukan jantung—yang diduga jantung wanita
tersebut—yang sudah terpotong-potong di meja makan. Tanpa komando bagian tim
dipisah menjadi dua, satu persatu barang buktinya dikumpulkan, sementara tim
investigasinya yang lain menelepon tim forensik.
“Psikopat,”
desis Shikamaru.
“Nara,”
seseorang memanggilnya dari belakang. “Korban diketahui bernama Sarutobi
Kurenai, 32 tahun. Suaminya, Asuma Sarutobi, sudah meninggal dua tahun yang
lalu. Anak mereka sudah diamankan oleh saksi. Oh, dan nama gadisnya adalah Yuuhi Kurenai. Tentang detail pembunuhannya, kami
serahkan ke tim forensik.”
“Kau
menemukan potongan jarinya?” Lawan bicara Shikamaru mengangguk. “Baiklah,
terima kasih banyak.”
“Tapi,
hanya jemari kanan yang kami temukan, sedangkan jemari kirinya hilang, sama
seperti korban sebelumnya.”
“Pembunuhan
berantai, ya.” Shikamaru menghela napas berat, sudah ada satu korban dengan
nasib sama sebelumnya. Si pembunuh begitu cerdik, tidak meninggalkan satupun
jejak mengenai dirinya. Belum lagi, motif kejahatannya benar-benar sulit untuk
ditebak. Kedua korban tidak mempunyai masalah apa pun, baik dari keluarga
ataupun teman kerja.
“Tubuh
korban diperkirakan dipotong dengan gergaji tangan, karena darahnya bercampur
dengan logam. Bisa jadi dengan alat logam lainnya.” Tambahnya.
Berbeda.
Si pelaku melakukan permbunuhan dengan kedua cara dan perlakuan yang berbeda.
Sejauh ini, ciri fisik korban yang dipilih pelaku memiliki karakteristik yang
sama. Entahlah. Rambut gelap, postur tinggi, kulit putih…
Korban
sebelumnya terbunuh, dimutilasi dengan seutas benang tajam yang entah terbuat
dari material apa, dimasukkan ke dalam guci, terendam darah. Timnya perlu usaha
ekstra untuk mengeluarkan mayat yang sudah padat di dalam. Waktu itu, tidak ada
cara yang efektif selain memecahkan guci tersebut.
“Menurutmu,”
kata Shikamaru. “Siapa korban berikutnya?”
Lawan
bicara Shikamaru terdiam. Karena mereka hanya mempunyai satu bukti, yaitu
wanita berciri sama, ia memikirkan wanita yang mirip dengan Yuuhi Kurenai. “…
Hyuuga Hinata?”
“Siapa
itu?”
“Ia
adalah wanita yang berciri sama dengan korban-korban ini. Kami menjaring
informasi tentang wanita berciri sama di seluruh Tokyo, dan yang paling dekat
di sini adalah Hyuuga Hinata.”
“Kita
harus mengamankannya. Siapa tahu dia mengenal orang ini, atau motifnya.”
“Baiklah,”
Shikamaru
berdiri, lalu mematikan saluran televisi rumah yang terus menyala. Tindakan
psikopat memang selalu di luar batas. Shikamaru tidak mengerti, mengapa harus
nyawa orang-orang yang tidak bersalah yang terambil. Kasihan keluarga atau anak
yang mungkin bisa menjadi yatim-piatu.
Darah
yang masih tercecer di ruangan sudah mulai mengering. Shikamaru terpaksa
mengintarinya untuk mencapai pintu keluar. Sepatunya harus bersih. Ia sudah
melihat banyak pembunuhan keji yang kerap menyiksa mata, atau membuatnya mual.
Jadi, setidaknya baju dan sepatunya harus tetap bersih sampai di rumah. Biarlah
jas hujan atau sarung tangan karetnya yang kotor akan darah.
Di
luar, saksi mata kejadian pembunuhan itu tengah menutup mulutnya. Ia dipayungi
satu orang dari tim forensik. Shikamaru terkadang tidak tega menginterograsi
saksi yang mungkin sedang terguncang. Tidak sembarang orang bisa melihat mayat
mutilasi dengan tenang. Tapi, pekerjaan tidak bisa ditunda. Shikamaru
membutuhkan lebih banyak informasi.
“Nona,
tolong ikut saya ke kantor polisi,” Shikamaru berhenti di hadapan wanita itu.
Mata
berair sewarna langit itu menatap Shikamaru, pasrah akan nasibnya. Ia
mengangguk, lalu mengikuti kepala penyelidikan itu menuju mobilnya.
.
.
.
“Siapa
nama Anda?”
Ruangan
kantor tampak lebih menenangkan. Bunyi derasnya hujan tertutupi dengan ruangan
kedap suara. Shikamaru meletakkan secangkir kopi, dengan jumlah kafein yang
cukup banyak, agar ia dan wanita berambut pirang itu lebih tenang. Wanita itu
mengerti, lalu meraih cangkirnya dengan terburu-buru.
“Y-Yamanaka
I-Ino,”
Di
luar dugaan, wanita ini memiliki nama yang sangat Jepang. Dengan mata berwarna
biru dan rambut pirang panjang, ia berkesan kebarat-baratan. Wajahnya
blasteran, tapi bisa saja dia merupakan salah satu cosplayer di Shibuya.
“Silakan
minum saja kopi Anda terlebih dahulu.” Shikamaru merasa harus memberikan
simpati saat bibir Yamanaka Ino bergetar.
“Terima
kasih.” Lalu, Ino menyesap kopinya.
Kriminalitas
Jepang mulai mengasyikkan, sebenarnya. Yang paling menggemparkan adalah
Pembunuhan Zodiak Tokyo*, di tahun
1936. Setelah itu, mulai jarang adanya tindakan kriminal yang berpadu dengan
misteri, kegilaan, dan menyangkut kondisi psikis si pelaku. Pembunuhan Zodiak
Tokyo tidak tertandingi, karena kasusnya tertunda selama 40 tahun, seolah-olah
tidak ada black box untuk kasus
tersebut.
Pembunuhan
ini sepertinya tidak melebihi misteri Pembunuhan Zodiak Tokyo, tapi membuat
adrenalin Shikamaru terpacu. Saat di mana IQ 200-nya terbukti dengan pasti dan
bisa digunakan sebaik mungkin.
Shikamaru
melenggang ke meja kerjanya, lalu menyiapkan mesin tik lama. Laporan tercepat
akan lebih mudah dilakukan dengan mesin tik. Shikamaru bisa menyalinnya lagi di
komputer. Cara lawas yang disukai selera Shikamaru yang aneh.
Ino
menaruh cangkirnya di meja, menandakan kalau dirinya sudah lebih siap dan
tenang. Ia menatap lawan bicaranya itu dengan heran saat sebuah mesin tik besar
menghiasi meja. Ino berusaha menyandar di kursinya yang nyaman.
“Apakah
Anda mengenal Hyuuga Hinata?” adalah pertanyaan awal yang absurd.
“Tidak.”
“Baiklah,”
terdengar suara ketikkan mesin tua. “Apa saja yang Anda lihat dan ketahui, dari
kejadian tadi? Tolong ceritakan saja sementara saya akan menulis seluruh alibi
Anda.”
“Aku
bukan tersangka,” Ino menyergah.
“Saya
tahu. Tapi segala hal bisa terjadi,” Shikamaru berhenti menulis, lalu menatap
Ino.
Wanita
itu terlihat agak kesal, lalu menghela napas menyerah. “Aku baru pulang bekerja
sekitar pukul 3 sore. Saat itu, rumah Kurenai-san terlihat tidak berpenghuni. Lampunya dimatikan. Kupikir
Kurenai-san sedang pergi bersama
putranya ke suatu tempat. Setelah itu, aku masuk ke rumahku.
“Tak
lama, terdengar suara bantingan dari rumahnya. Itu terdengar aneh, jadi aku
melihat ke jendela rumahku dan memang tidak terjadi apa-apa. Tidak terlihat
sesuatu yang mencurigakan. Tak lama, ada seorang wanita, bersepeda, yang lewat
di depan rumahnya. Rambutnya gelap. Sepedanya berhenti sebentar di depan rumah
Kurenai-san, agak lama. Tapi setelah itu,
ia pergi lagi. Kurang-lebih usianya sama denganku.
“Pukul
4 sore, Kurenai-san berjanji akan
datang ke rumahku. Karena anggapanku keluarganya sedang pergi, tadinya aku
tidak berniat pergi ke rumahnya. Tapi, aku begitu penasaran. Jadi aku pergi
keluar rumah dan mengintip ke balik jendela rumahnya. Saat itu, aku melihat
begitu banyak darah di ruang tengahnya. Sedangkan televisinya terus menyala.
Aku menutup mulutku yang hampir berteriak, lalu menelepon polisi.
“Setelah
menelepon polisi, aku teringat Takeshi, anak lelaki Kurenai-san. Aku menutup jariku dengan jaket,
lalu masuk ke dalam rumah dari jendela. Aku memanggil-manggil Takeshi, tapi
tidak ada satu pun yang menjawab. Lalu aku pergi ke kamar Kurenai-san, dan menemukan Takeshi di bawah
ranjangnya. Ia tidak ketakutan dan tidak menangis. Takeshi bingung dan
menanyakan ke mana Kurenai-san.
“Aku
bilang kalau aku akan mengajaknya pergi membeli banyak permen dan es krim, tapi
akan pergi diam-diam. Jadi, aku meminta Takeshi menutup matanya, lalu kami
keluar dengan hati-hati lewat jendela. Saat aku bertanya kenapa Takeshi ada di
bawah ranjang, ia menjawab kalau Kurenai-san
menyuruhnya begitu saat ada yang mengetuk pintu rumahnya.
“Bukankah
itu aneh? Kenapa Kurenai-san yang
sudah tahu bahwa dirinya akan dibunuh tidak memanggil bantuan? Atau kenapa
Kurenai-san menyuruh Takeshi
bersembunyi di bawah ranjang? Memang siapa yang ditemuinya? Bukankah…
Bukankah…” Ino tidak melanjutkan. Tangisannya pecah kembali.
“Sekarang,
Sarutobi Takeshi sedang bersama siapa?” tanya Shikamaru.
“Ka-kakakku,
Yamanaka D-Deidara.”
“Ya,
itu memang aneh, Yamanaka-san. Tapi
banyak alasannya. Misalnya Sarutobi-san
yang dari awal sudah tahu dirinya ditargetkan untuk dibunuh dan tidak ingin
Takeshi melihatnya. Atau Sarutobi-san
mempunyai kekasih dan akan berhubungan seksual dengannya di ruangan itu, tapi
ternyata kekasihnya adalah psikopat. Semua kemungkinan bisa terjadi,”
“T-Tidak
mungkin,” Ino meremas roknya.
“Apa
yang tidak mungkin?”
“Kurenai-san tidak mungkin berhubungan seksual di
rumahnya.”
“Kenapa?”
“Pertama,
dia tidak pernah lepas dan tega pada Takeshi. Kedua dia adalah… seorang…” Ino mendadak
panik. Ia tidak mungkin memberitahukan hal itu secara gamblang. Ini adalah hal
terprivasi Kurenai. Dengan berat hati, ia meminta Shikamaru untuk mendekat,
lalu membisikkan satu kata.
Sejenak,
Shikamaru kehilangan kata-kata. Ini terlalu aneh untuk bisa dipecahkan. Ia
menatap Ino yang memalingkan wajahnya. “Anda…?”
Ino
mengangguk pelan, agak terpaksa. “Tapi pelakunya bukan diriku, Tuan.”
“Jadi,
semuanya bergantung pada… Takeshi, ya.” Gumam Shikamaru.
.
.
.
Jumat
cerah, Shikamaru memutuskan untuk mengunjungi Takeshi, sementara sebagian
timnya mencari Hyuuga Hinata untuk diamankan. Takeshi adalah anak yang ceria,
dengan mata dan rambut yang berwarna gelap, ia adalah anak yang menawan.
Umurnya baru 10 tahun. Ia masih polos dan begitu bersemangat saat Shikamaru menanyainya.
Saat
ia datang ke rumah keluarga Yamanaka, Ino sedang tidak ada di rumah. Hanya ada
lelaki berambut pirang panjang yang menyambutnya. Ia mengaku bernama Deidara.
Mudah saja Shikamaru masuk dan bertemu Takeshi, karena Ino menceritakan
keseluruhan kejadian kemarin dengan teliti kepada kakaknya itu.
“Paman,
paman!” Takeshi menatap Shikamaru.
“Hm?”
Shikamaru berhenti menulis.
“Mama
ke mana, sih? Paman itu polisi, ya?
Memangnya apa yang terjadi sama Mama? Mama melakukan tindakan yang jahat?” cerocos
Takeshi.
Shikamaru
tersenyum. “Takeshi-kun kritis ya.
Begini, Mama Takeshi tidak melakukan tindak kejahatan apa pun.”
“Terus?”
“Takeshi-kun sering menonton berita?”
“Iya.
Kata Mama, kalau ingin menjadi pintar harus sering membaca dan menonton berita.
Supaya kritis, katanya.”
“Nah,
jadi Mamamu di sini adalah korbannya. Pelaku kejahatannya adalah orang lain.”
“Paman…
jadi… apa Mama baik-baik saja?” Takeshi menunduk. Penjelasan singkat dari
Shikamaru dapat dimengerti dengan mudah, tapi ia merasa khawatir.
“Maaf
Takeshi-kun, tapi Mamamu tidak
baik-baik saja.” Shikamaru mengusap kepala anak itu.
Takeshi
terdiam beberapa saat. Ia sedih mendengar jawaban Shikamaru. Tapi ia akan tegar
dan kuat. Anak lelaki tidak boleh menangis, sesuai perkataan Mamanya. “Mama belum
meninggal. Papa juga. Paman tenang saja ya.”
“Kenapa
begitu?”
“Kata
Mama, ketika Papa pergi, Papa akan ada di Surga melihat perkembanganku. Kalau
sekarang Mama pergi, maka Mama akan bertemu Papa. Mereka akan selalu
menyayangiku dan ada di dekatku.” Jelas Takeshi.
Shikamaru
tersenyum. Kesehatan mental Takeshi jauh lebih baik dari dugaannya. “Sebelum
kejadian ini terjadi, Takeshi-kun
sering melihat Mama gelisah, tidak?”
Takeshi
terlihat berpikir sebentar. “Tidak, kok. Mama bahagia. Katanya, dia sudah bertemu
teman dunia mayanya.”
“Teman
dunia maya?”
“Iya.
Ada 4 orang. Mereka sangat baik padaku dan Mama.”
“Di
mana Mamamu bertemu mereka?”
“Di
Kafe.”
“Takeshi-kun tahu letak kafenya di mana?”
Shikamaru mencatat. Satu saat, ia bisa datang mengunjungi. Siapa tahu ia punya
kemungkinan bertemu orang-orang yang terlibat dalam kasus. Segala hal patut
dipertimbangkan dan dianalisis dengan baik.
“Umm…
Kafe, apa ya. Aku lupa namanya, Paman. Tapi kafe itu ada di Distrik K, berisi
kakak-kakak yang memakai kostum anime.
Banyak action figure-nya loh, Paman,
keren. Di dinding, meja-meja. Bahkan
aku lihat ada nendroid tokoh…”
Takeshi menyerocos cepat, bersemangat, nyaris tidak ditangkap kelanjutannya
oleh Shikamaru.
Cosplay Café.
Distrik K. Banyak action
figure, nendroid…
“Takeshi-kun tahu nama mereka?”
“Lupa
jugaa. Namanya singkat-singkat sih,
Paman.”
“Mereka…
laki-laki?” Shikamaru mendapatkan informasi baru. Mungkin saja pelaku
pembunuhan adalah salah satu teman dunia maya Kurenai. Banyak kasus
kriminalitas dari orang yang dikenal dari dunia maya. Di abad duapuluh satu,
seseorang harus ekstra hati-hati dalam hidupnya. Zaman semakin bebas dan nyawa
semakin tidak berarti.
“Bukan.
Mereka semua perempuan.” Kata Takeshi.
Jika
memang nama keempat wanita yang disebutkan Takeshi itu singkat, hanya ada satu
kesimpulan yang dapat ditarik oleh Shikamaru; nama pena. Tunggu, nama pena?
Shikamaru yakin Kurenai juga mempunyai nama pena. Dengan itu, Shikamaru bisa
mencari tahu data empat orang lainnya, juga menebak motif yang digunakan pelaku.
“Takeshi-kun, apa Mamamu mengenalkan diri dengan
menggunakan nama yang singkat?”
“Iya
sih. Sebentar… emm… An? Iya, An
Yuuhi. Bukankah itu nama yang aneh, Paman?” jawab Takeshi polos.
Shikamaru
tersenyum puas. Semua data yang ia inginkan dapat diperoleh dari Takeshi.
Informasi-informasi berharga ini bisa didapat dengan mudahnya. Ia memutuskan
untuk pulang, menepuk kepala Takeshi, lalu pamit pada Yamanaka Deidara.
Dengan
ini, mungkin Shikamaru bisa menyuruh hacker
divisi penyelidikan untuk meretas data atau masuk ke dalam akun internet
Kurenai. Kasus pembunuhan seperti ini seharusnya mempunyai motif yang pasti,
juga misterinya. Kurenai mungkin mempunyai sesuatu yang diinginkan oleh sang Pelaku.
Shikamaru
memasuki mobilnya. Sekarang, tinggal memastikan apakah rekan-rekan se-timnya
berhasil mendapatkan Hinata Hyuuga. Ia mengambil ponselnya dan menekan beberapa
angka.
.
.
.
Yuuhi
An. 23 stories. 141 favorite stories. 5 favorite authors.
Shikamaru
menyandar pada kursi, meraih gelas kertas yang dingin dari atas mejanya. Mesin
pencari langganannya menampilkan data author
Yuuhi An yang tidak seberapa. Lelaki macam Shikamaru tidak pernah
tahu-menahu soal dunia perfanfiksian seperti ini. Tapi, 5 author favorit Kurenai menjadi sorotan utamanya.
Ia
membuka laman favorite authors dan
menemukan sejumlah nama; Black Butterfly,
EmeraldGirl_09, Zenbazuru, neko-chi, dan
Tsuki.
Biasanya,
dalam hubungan antarpenulis di internet, nama penulis yang difavoritkan pasti
menjadi teman atau juga teman mengobrol.
Ini agak merepotkan karena ada 5
orang penulis terfavorit Kurenai. Seandainya ada 4 orang, semuanya sudah agak meruncing
ke arah pertemuan kafe cosplay.
Shikamaru terpaksa harus membuka profil kelima author tersebut.
“Nara,”
seseorang membuka pintu ruangan Shikamaru. Laki-laki, dengan google di kepalanya, dan sebatang rokok
yang terselip di bibir. Ia mengacungkan kertas memo kecil dengan gaya santai. “Ini
e-mail dan password korban,” jelasnya.
“Matikan
rokokmu, Uchiha,” sahut Shikamaru, matanya tak terlepas dari layar komputer.
“Simpan saja di mejaku.”
Obito
Uchiha tidak berniat menanggapi. Ia duduk di depan Shikamaru dan menempelkan
memo itu di mejanya. Setelah itu, ia diam dan tidak keluar lagi. Hal itu
membuat Shikamaru geram, mengambil rokoknya dengan paksa, menjatuhkannya, lalu
menginjaknya di lantai tanpa ampun.
Obito
merupakan salah satu hacker, peretas
andal yang menjadi bagian tim penyelidikan. Dia sedikit hiperaktif, dengan gaya
tak biasa dan kelewat santai dalam menghadapi masalah. Anggota keluarga The Mighty Uchiha, pengusaha nomor satu
yang entah kenapa memilih banting setir menjadi hacker daripada menjadi pengusaha atau miliarder.
“Dasar.
Itu baru kusulut, tahu. Masih banyak.” Kata Obito.
Shikamaru
tidak membalas.
Obito
berpikir sebentar, “Kau butuh wanita, Man.
Hidupmu suram, kau gila pekerjaan.”
“Diam,
Uchiha. Kau sendiri satu-satunya Uchiha yang menyangkut di kepolisian. Harusnya
kau menjadi pewaris perusahaan raksasa, seperti Itachi Uchiha. Atau Sasuke.”
“Keluargaku
kaya tujuh turunan, tapi aku turunan Uchiha kedelapan, sorry.”
“Jadi
kau miskin?”
“Tidak.
Aku punya jalanku sendiri, Nara. Siapa yang bilang menjadi pewaris seperti
Itachi dan Sasuke bahagia?”
“Pekerjaan
mereka bisa diwakilkan atau mereka bisa pesan Roll Royce layaknya ratu Inggris.”
Shikamaru mengangkat bahu.
“Oh,
tidak. Mereka juga suram sepertimu,”
“Itachi dan Sasuke turunan Uchiha keberapa?”
“Sembilan,”
“Kau
sedang error, Obito. Sama seperti
komputer-komputermu yang belum diganti.”
“Kau
butuh hiburan. Aku sedang berbaik hati. Dan lebih tua mana komputerku dengan
mesin tikmu,”
“No, thanks.” Shikamaru bilang. “Diamlah,
mesin tik-ku tidak pernah error. Aku
sekarang sedang mengakses Private
Messaging Kurenai dan ya, sepertinya dia dekat dengan kelima author favoritnya.”
“Oh…?”
Obito tidak terdengar peduli. “Kau sudah lihat akun Black Butterfly?”
“Belum.”
“Dia
hebat, Man. Alirannya goth. Deep goth. Dia seperti melakukan hal-hal supranatural yang nyata
dalam ceritanya. Bahkan mengaitkannya dengan sains. Gothic-Science Fiction. Dia seorang jenius. Tapi pada kenyataannya,
dia dibenci semua orang,”
Shikamaru
tertarik. “Kenapa?”
“Dia
terkesan sombong. Tapi aku mengerti perasaannya. Kau harus membaca fiksi-fiksi
buatannya, baru kau mengerti, Nara.” Obito menepuk pundaknya. “Sudah, ya. Aku
punya janji.”
“Dari
tadi juga aku sudah mengusirmu.” Shikamaru menggerakkan kusornya, memilih untuk
membuka forum Kurenai. “Selamat bersenang-senang,”
Obito
meneriakkan ‘Yo’, lalu membuka pintu ruangan. Suara hentakkan langkahnya
ditenggelamkan bunyi telepon yang berbunyi nyaring di luar. Shikamaru kembali
lagi ke monitornya, melihat-lihat forum Kurenai.
Kurenai
mengikuti dua forum. Di satu forum, hanya ada 5 orang. Semua penulis tadi masih
ada, namun hanya Black Butterfly yang tidak ada. Sementara di forum yang
satunya, mereka semua ada. Topik obrolan terakhir mereka adalah pendesakkan
terhadap Black Butterfly yang hendak membuat karya terbarunya.
Shikamaru
teringat untuk membaca karya fiksi Black Butterfly sesuai saran Obito. Tapi
saat ini, ia tak punya waktu sebanyak itu. Ia memutuskan untuk membuka akun author yang lain dan mendapat beberapa
kesimpulan.
1.
Black
Butterfly beraliran gothic, supernatural, sci-fi, dan sekarang beralih pada genre baru; crime. Data pribadi tidak ada. Ia banyak mendapat
kritikan pedas dan dibenci sebagian besar orang.
2.
EmeraldGirl_09
beraliran sci-fi, romance, hurt/comfort dan drama. Ia seorang dokter, sesuai pengakuannya di forum mereka. Ia author yang manis dan disukai. Teman
baik Tsuki.
3.
Zenbazuru
beraliran angst, drama, dan friendship. Ia
seorang aktris tenar yang mempunyai hobi menulis. Ia membuat pengakuannya di
forum, tapi tidak di profilnya. Tidak ada keterangan lain.
4.
Neko_chi
beraliran fluffy. Ia menulis semua genre fiksi ringan dengan rating Kids atau All Ages. Pecinta kucing. Sikapnya tenang dan dewasa, meski banyak
menulis fiksi anak-anak.
5.
Tsuki
beraliran romance, drama, dan hurt/comfort. Ia selalu menulis fiksi roman yang terlalu fantasi.
Sikapnya menggemaskan dan selalu bisa diajak bicara mengenai topik wanita.
Sangat mengagumi Black Butterfly.
6.
An
Yuuhi beraliran mature. Kebanyakan
fiksi buatannya adalah romance, gore, dan lemon. Satu-satunya fujoshi
dalam forum. Seorang ibu dari satu anak. Ia dewasa, khas wanita kepala tiga.
Sangat mengagumi Black Butterfly.
Dari
semua data, Shikamaru memeriksa setiap review
dari setiap cerita yang keenam author
sajikan. Yang paling menarik adalah Black Butterfly, karena review positif yang diterimanya bisa
dihitung dengan jari. Black Butterfly jarang mengaktifkan dirinya di forum,
susah untuk mencari informasi tentang dirinya di Internet. Black Butterfly
adalah hantu, sebuah kesimpulan mengenai keadaannya saat ini.
Tetapi
‘hantu’ masih dapat dideteksi.
Besok
pagi, Shikamaru berencana meminta Obito untuk melacak alamat di mana Black
Butterfly tinggal. Kalau sampai tidak dapat ditembus, atau Black Butterfly
menggunakan sistem pengamanan setingkat militer, maka sudah dapat dipastikan
dia menjadi salah satu tersangka.
Tunggu.
Jika author Black Butterfly adalah
tersangka, maka total korban adalah lima orang. Jika memang targetnya adalah
kumpulan penulis itu, maka yang belum terbunuh ada 3 orang lagi.
Sudah
tidak ada lagi alasan bagi Shikamaru untuk mencari kemungkinan lain selain
teman dunia maya Kurenai. Karena Ino mempunyai alibi yang kuat dan Kurenai
memiliki catatan yang bersih. Selain itu, Kurenai juga tidak mempunyai masalah
apa pun dengan pekerjaan atau keluarganya. Ia hanya seorang ibu rumah tangga
biasa, yang hidup bahagia bersama Takeshi, putranya.
Kurenai
juga sama sekali tidak mempunyai kondisi psikis yang menyimpang, dilihat dari
sisi Takeshi. Pemikiran anak itu adalah hasil didikan Kurenai dan Takeshi
merupakan anak yang cerdas, positif, dan terbuka. Itu artinya, Kurenai
merupakan Ibu yang baik. Jadi, dengan begitu saja cukup bagi Shikamaru untuk
menyimpulkan bahwa Kurenai sama sekali tidak bermasalah.
Kurenai
mempunyai sedikit masalah, sebenarnya. Tapi masalah itu tersampul begitu rapi,
karena Kurenai terampil. Yang terpenting, Takeshi tidak terkotori oleh hal-hal
semacam itu. Sudah sewajarnya Kurenai mengalami masa-masa yang sulit, karena
menjadi single parent merupakan
pekerjaan yang berat. Dalam hal ini, Kurenai sangat hebat dalam pengendalian
emosi.
Oh
ya, untuk kepastian lainnya, Shikamaru tidak boleh melupakan satu hal kecil;
memeriksa biodata sebenarnya semua author
tersebut. Meski yang paling dicurigai adalah Black Butterfly, tapi korban
sebelum Kurenai harus dipastikan sebagai salah satu dari author-author tersebut.
Telepon
berdering saat Shikamaru asyik berkutat dengan pikirannya. Ia menghela napas.
Langit sudah menjadi senja tanpa ia sadari.
“Kepala
Divisi Penyelidikan, Shikamaru Nara,” jawaban otomatis terlontar dari bibir
Shikamaru yang kerap mengatakan ‘mendokusai’.
“Nara?” salah satu rekannya di ujung
telepon menyahut. “Kami sudah mendapatkan
Nona Hyuuga.”
“Oh.
Ya, baiklah. Aku akan segera ke sana,” Telepon ditutup.
Shikamaru
berdiri, menekan sejumlah kode di keyboard
komputer untuk mematikan PC, lalu berjalan mengambil jaket krem kusam yang
tergantung di dekat pintu. Kunci dan cangkirnya ia pegang, sementara sebelah
tangannya mengambil tas koper berisi puluhan berkas. Shikamaru memegang knop
pintu dan berhenti sejenak, lalu sepatu pantofel tuanya melangkah keluar.
.
.
.
Hyuuga
Hinata adalah seorang perempuan bermata bening dengan rambut gelap sebatas
pinggang. Pipinya merona ketika Shikamaru memerhatikan wajahnya yang sulit
dilupakan. Hinata tersenyum canggung, lalu menatap sekeliling ruangan dengan
perasaan gugup.
Ruangan
yang mereka tempati memiliki pencahayaan minim. Sebuah meja putih tulang berada
di tengah-tengahnya, dikelilingi lima buah kursi senada. Hinata duduk di bagian
kiri meja, sementara Shikamaru di seberangnya.
“Me-Mereka
bilang aku terlibat dalam kasus pembunuhan. Apa benar, umm…?” Alisnya
mengernyit bingung.
“Shikamaru
Nara.”
“Y-Ya!
Nara-san. Gomen.” Lalu kepalanya menunduk.
“Anda
tidak perlu meminta maaf, Nona. Anda juga bukan tersangka, tolong rileks saja.
Mau saya ambilkan minum?” tanya Shikamaru.
Hinata
menggeleng. “Kalau begitu?”
“Anda
mengenal Kurenai Sarutobi? Usianya 32 tahun saat ini.” Shikamaru mengangkat
kopernya ke atas meja, lalu membukanya perhalan. Di dalamnya terdapat hasil
cetakan foto mayat Kurenai, foto normalnya dan berkas biodatanya. Juga hasil print out situs fanfiksi yang sudah disiapkan Shikamaru.
“T-Tidak.”
“Atau
Anda mungkin mengenalnya sebagai Yuuhi An?” tanya Shikamaru. Suaranya agak
bergetar.
“Unnie?” mata Hinata melebar.
Tergesa-gesa ia menutup bibirnya dengan kedua tangan.
“’Unnie’?” Shikamaru mengulang. “Kau
mengenalnya?”
Hinata
menggigit bibir, lalu membuka kedua tangannya. Matanya yang berair menatap
Shikamaru berulang-ulang sampai akhirnya menunduk lagi. “Aku… adalah Black
Butterfly, Nara-san,”
.
.
.
Menurut hukum fisika, semua benda
terdiri dari atom. Atom adalah energi. Ketika energi itu padat, maka
terciptalah benda yang ada, dapat
disentuh, dan dirasakan. Dalam hal ini, manusia memiliki energi yang paling
kuat dari makhluk apa pun.
Mata adalah layar proyektor untuk benda
di sekitarnya, cahaya adalah pengaruh utamanya. Benda yang tidak terkena cahaya
tidak dapat dilihat oleh mata dan otak adalah tempat untuk berimajinasi,
berpikir, serta membayangkan. Manusia membayangkan benda, memberi nama-nama, menentukan
ukuran, bentuk, dan hal lainnya. Tapi pernahkah berpikir bahwa ketika merasakan
benda itu ada, dengan syaraf yang menentukan suhu, bentuk, maupun partikelnya,
itu semua hanyalah anggapan otak semata?
Kita yang berpikir bahwa benda itu nyata, bersuhu dingin, ataupun berpartikel
padat. Tidak ada pembuktian yang nyata bahwa sebuah benda benar-benar ada.
Syaraf sentuhan, pengelihatan, segalanya diatur oleh otak manusia.
Karena hal itu, munculah sebuah
relatifitas di kehidupan manusia. Mahal, murah, cantik, jelek, tampan, kaya,
anggun, baik, mudah, dan segala macam sifat adalah relatif. Semuanya
disesuaikan dengan perspektif manusia itu sendiri.
Hinata Hyuuga melihat dunia dengan
perspektif berbeda. Dunia itu relatif. Tercipta
dengan keinginan manusia, berjalan sesuai logika yang ada dalam pikiran manusia
itu sendiri.
Ia menuangkan ekspresi dan perspektifnya
ke dalam tulisan, yang akhirnya kurang disukai orang-orang. Melawan arus,
keharusan berpikir dan mencoba berbeda
memang menyusahkan. Manusia menyukai hal-hal yang sudah berjalan pasti, enggan
berpikir sebab-penyebabnya.
Dan Nara Shikamaru mengerti mengapa
Obito bilang Black Butterfly adalah penulis jenius.
Yang tidak dimengerti Shikamaru adalah,
mengapa perwujudan Black Butterfly di dunia nyata adalah seorang gadis manis
pemalu, sedikit bicara, dan begitu sopan. Hinata bukan seseorang yang ambisius.
Ia statis sebagai layar belakang, bukan sebagai pemeran utama.
“Aku jarang aktif di forum, karena aku
selalu takut mengenai pendapatku,” Nah, dia juga seorang penakut. “Aku mengerti
penulis-penulis lain sangat menolerir pemikiranku, tapi aku merasa kurang
nyaman, Nara-san.”
Hinata Hyuuga menjawab tenang setiap
pertanyaan yang dilontarkan, jujur, dan kelewat santai. Ia sesekali meneguk
kopi yang disediakan, karena pembicaraan berlangsung lebih lama dari yang
diperkirakan. Shikamaru menjadi kepala penyelidikan memang bukan suatu hal yang
diputuskan begitu saja. Dia bisa menyeleksi dan mendeteksi hal-hal tertentu.
Terutama kebohongan.
Menghabiskan dua jam dengan Hinata
Hyuuga tidak membuatnya mendapat apa pun. Informasi, tentu dia dapat beberapa.
Shikamaru hanya tidak percaya ada orang seluwes itu dalam berbohong. Bisa jadi
dia memang gadis baik dan jujur sepenuhnya, tapi manusia tidak bekerja seperti
itu. Setiap manusia dewasa mempunyai kemungkinan untuk jadi menipulatif.
“Saya degar dari Takeshi. Beberapa waktu
lalu ada semacam… perkumpulan antarpenulis? Gathering?
Apa pun itu. Dari kelima penulis yang berada di dalam forum, satu orang tidak
ada. Anda tahu mengapa?” Shikamaru mengetuk-ngetuk pulpennya, mencoret acak,
membuat gambar, tulisan, sesekali menggeleng.
“Ah ya, aku yang tidak datang.”
“Mengapa?”
“Aku orang yang tertutup, Nara-san. Mereka semua juga tahu.”
Perbedaan jalan pikiran, ya, tadi ia
sudah bilang.
“Foto ini, korban sebelum Yuuhi Kurenai.
Berperawakan sama seperti Kurenai dan Anda. Tim saya pikir mungkin pembunuhan
berantai ini terkait ciri-ciri orang tertentu,” Shikamaru menaruh foto lain di
atas meja.
Hinata mengambilnya. Matanya terbelalak
alami, sedikit panik, dan suaranya tercekat.
“Kenapa, Hyuuga-san? Anda mengenalnya?”
“D-Dia… K-Konan…”
“Ya, namanya benar Konan. Aktris
sekaligus penyanyi yang dikabarkan hilang di berita. Kami memang terpaksa
menyembunyikannya. Tapi yang kutanyakan, apakah Anda mengenalnya di luar fakta
dia seorang aktris?”
“T-Tidak,”
“Baiklah. Tapi kalau tidak salah, ada
satu author yang merupakan aktris
terkenal. Anda tahu siapa namanya,”
“N-Nara-san tahu benar aku tidak begitu dekat dengan kelima penulis lain
dan aku tidak datang ke gathering itu.
Kami tidak saling berbagi informasi pribadi, apalagi aku.”
Shikamaru merasa kasihan. Mungkin Hyuuga
Hinata memang gadis yang begitu jujur. Tidak seharusnya dia memaksa, mungkin
lain kali ia bisa bertanya lagi. Saat itu Shikamaru mengisyaratkan rekannya
untuk masuk karena sesi pembicaraan telah selesai.
“Baiklah, sepertinya sesi pembicaraan
berakhir di sini. Saya sangat berterima kasih atas ketersediaan waktu Anda
untuk datang.”
Rekannya masuk, mempersilakan Hinata
keluar dan menemaninya hingga pintu depan kantor polisi. Hinata menyapu air
matanya dengan sapu tangan, berojigi sebelum
pergi. Shikamaru yang tertinggal sendiri, entah kenapa merasa begitu lelah.
Apakah Kurenai dan Hinata yang sama-sama penulis fanfiksi hanyalah sebuah
kebetulan? Bagaimana dengan Konan?
Satu hal yang pasti, Shikamaru belum
mendapatkan profil lengkap penulis-penulis lain. Siapa tahu Konan adalah
Zenbazuru. Perkumpulan teman-teman dunia maya memang biasanya tidak menyebut
identitas diri. Atau Hinata Hyuuga semenjak tadi memang dengan luwes berbohong
padanya.
.
.
.
Di hari minggu pagi, seorang Nara
Shikamaru datang mengunjung kafe cosplay.
Kepala penyelidikan kepolisian yang memiliki kemampuan analisis tinggi, hikikomori, tertutup, dan lebih senang
main shogi daripada main game online mengunjungi kafe cosplay. Obito sebelumnya puas
meledeknya di telepon.
“Baik-baik
di sana dengan maid-mu ya, Nara. Atau
mau kukenalkan dengan maid yang
paling cantik di sana? Aku kenal satu orang.”
Dia datang untuk tugasnya. Setelah
menyeleksi seluruh kafe yang ada di Distrik K, dia menemukan satu kafe yang
mirip dengan deskripsi Takeshi. Action
figure menghiasi kafe dari atas sampai bawah. Surga untuk pecinta nendroid.
Surga bagi seorang Obito Uchiha.
Shikamaru memilih datang sendiri.
Memakai jaket otaku pinjaman dari
Obito, berpola lingkaran aneh di bagian tudung. Obito bilang itu jaket Kano.
Entah tokoh apa. Waktu itu pilihannya adalah jaket itu atau jubah panjang hitam
berpola awan merah. Shikamaru pikir jaket itu lebih normal.
“Mungkin
akhirnya pekerjaan ini mencarikanmu wanita.” kata Obito sebelum Shikamaru
pergi.
“Ck.
Mendokusei.” Merepotkan. Wanita itu lebih rumit daripada kasus kriminal.
Obito cuma nyengir, lalu mengusir
Shikamaru dengan tangannya, menyuruhnya untuk segera pergi.
Jadi di sinilah ia, hanya berdiri di
depan kafe seperti orang bodoh.
-----------------------------------------------------------------------------------
Ridchor
Enjoy your time with foods,
drinks, free wi-fi, and nendroids
-----------------------------------------------------------------------------------
Plang biru cerah menyambut Shikamaru di
pintu masuk. Ridchor. Nama yang aneh. Pintu bagian depan kafe merupakan kaca geser otomatis.
Interior ruangan didesain dengan perpaduan warna cokelat, krem dan merah muda
pastel. Di dinding, terpasang ratusan action
figure yang ditata rapi dan terlihat mahal dengan cahaya kuning temaram.
Shikamaru dengan ragu-ragu memasuki
kafe.
“Selamat pagi, Master. Aku Lizzy, maid
Anda hari ini. Kursi untuk berapa orang?” Salah satu pelayan dengan bandana
berenda, rok pendek di atas lutut, dan baju dominasi hitam-putih datang
mendekatinya. Rambutnya digulung ke atas, beserta senyuman yang sudah terlatih.
“Satu orang saja.”
Lizzy tertawa geli, mungkin sekedar
servis. Banyak pria-pria yang datang sendirian, menghabiskan waktu seharian
dengan maid di Ridchor.
Mengganti-ganti nendroid, makan, dan
bercanda. Pelayan itu membawa Shikamaru ke lantai atas, melewati tangga yang
sempit. Ruangan lantai atas lebih nyaman ketimbang di bawah. Tempatnya lebih
privasi, bahkan ada iPad di setiap meja.
“Mau pesan apa, Master?”
Shikamaru memilih duduk di pojok
ruangan, bersebelahan dengan jendela besar yang menghadap ke luar. Mejanya
berbentuk jamur, dengan dua tempat duduk. Lizzy duduk di seberangnya,
memutar-mutar iPad yang terpasang di meja.
“Boleh lihat menu,” Shikamaru merasa
bosan. Tempat itu lumayan ramai. Meja-meja penuh dengan orang-orang berkelompok
yang asyik meminum mojito dan mengutak-atik nendroid.
“Ini, silakan pesan di sini.” Lizzy
mengetuk iPad, memutarnya menghadap Shikamaru. “Nanti kalau sudah, makanannya
akan otomatis tiba di lantai dua. Aku hanya tinggal mengambilnya ke sana,” Dia
menunjuk pojok ruangan lain, di sana ada lift mungil.
Shikamaru meraih iPad setengah hati,
mencari-cari daftar minuman secara asal. Dia mungkin akan pesan bir dan sebuah nendroid. Dia menekan gambar ginger ale dingin, lalu beralih pada
laman nendroid.
Lizzy memerhatikan. Masternya kali ini tidak banyak bicara dan datang bukan untuk
mengincar wanita dan nendroid.
Laki-laki itu datang untuk sesuatu yang lain.
“Mencari sesuatu, Master?”
Laki-laki berjaket Kano menekan hal
terakhir yang dia inginkan, lalu bilang, “Aku sudah selesai,”
Segelas
ginger ale dan
nendroid Hatsune Miku musim dingin.
Entahlah siapa itu.
Beberapa menit kemudian, terdengar
denting pelan lift. Lizzy beranjak mengambilnya. Saat itu Shikamaru melihat apa
yang terhalang tubuh si pelayan. Seorang wanita berkacamata, berambut merah
muda yang diikat asal-asalan, serta mata hijau yang tidak biasa duduk dua meja
di depannya. Sendirian. Berbeda dengan yang lain, dia tampak asyik dengan iPad,
tidak terlihat sedang menunggu siapa pun.
Seberkas perasaan curiga menyergapnya.
Intuisi menuntunnya dalam pikiran bahwa wanita
itu terlibat sesuatu. Wanita berambut merah muda dan beriris hijau cerah… yang
datang sendiri, memakai jubah dokter.
Siapa
salah satu penulis yang merupakan dokter?
Shikamaru mengacak rambutnya. Ia lupa
daftar nama-nama yang hanya berisikan enam orang. Ke mana ingatannya di saat ia
membutuhkannya?
Lelaki itu berdiri, hendak beranjak menghampiri
sebelum Lizzy datang menghalangi pandangan. Dia terlambat.
“Master?”
Ia kembali duduk, sedikit kesal, meraih ginger ale dan nendroidnya. Menyesap beberapa teguk ginger ale, Lizzy hanya diam tidak bicara. Shikamaru dengan brutal
melepaskan bagian-bagian tubuh Hatsune Miku.
Si Dokter. Bisa jadi wanita berambut
merah muda itu salah satu dari keenam nama. Sekarang, ia hanya butuh sedikit
waktu untuk wawancara. Tetapi ia menyadari, di kafe ini ia tidak boleh gegabah.
Ia sebenarnya bersedia menunggu, asalkan si dokter tidak pergi duluan.
Tubuhnya terpacu adrenalin yang tidak
biasa. Betapa dia yakin saat itu semuanya sudah dekat.
Matanya bergulir ke kanan dan kiri. Berpikir, berpikir. Bagaimana dengan si
pelayan? Tidakkah dia punya informasi juga?
Matanya bertemu lingkar cokelat tua
milik sang maid.
“Master?
Anda baik-baik saja?”
Baiklah.
Mana yang lebih pasti? Si pelayan, bukan? Bisa saja si dokter bukanlah salah
satu dari nama-nama itu. Tapi dia sangat yakin, entah
kenapa. Si pelayan menjadi keputusan akhir Shikamaru. Dia menggeser tubuhnya,
menjaga dokter merah muda tetap berada dalam pengawasan, lalu memulai.
“Baiklah. Begini, Lizzy-san. Saya bukan seorang otaku, saya seorang polisi. Saya sedang
mengerjakan kasus mutilasi, pembunuhan berantai dan sejenisnya,” Lelaki itu
meletakkan bagian-bagian tubuh mainan ke depan si pelayan. “Saya ke sini karena
curiga akan kemunculan tersangka atau bahkan korban berikutnya. Bisakah Anda
membantu saya?”
Lizzy diam dan menimbang sebelum
akhirnya bicara, “Aku tahu, Master.
Anda pelanggan yang tak biasa dijumpai sehari-hari. Aku mungkin dapat
memberikan informasi yang Anda inginkan, mungkin juga tidak.”
Alis Shikamaru mengangkat, “Baiklah.
Waktu saya tidak banyak. Saya akan mengajukan pertanyaan, Anda menjawab. Dengan
cepat. Mengerti?” Si dokter masih di sana. Menekan-nekan layar iPad sampai
seorang pelayan laki-laki datang
membawakannya tortilla.
Harinya
masih panjang.
Lizzy mengangguk.
“Sekitar seminggu lalu, ada semacam
perkumpulan—gathering—di Ridchor.
Beranggotakan lima orang perempuan,” Shikamaru merogoh tas. “Salah satu
anggotanya adalah wanita ini. Kurenai Sarutobi, 32 tahun. Anda pernah
melihatnya?”
Si pelayan menghela napas. Sedikit
banyak ia sudah memperkirakan apa yang akan terjadi. Terlibat dalam kasus
pembunuhan memang suatu kebetulan yang mengerikan. Ia membisu beberapa saat
sebelum memanggil, “Haruno-san…”
Semuanya terjadi dengan cepat.
Kursi milik dua meja dibelakang mereka
bergeser.
Si dokter menatap ke arah Lizzy,
meninggalkan iPadnya. Ia lalu berdiri, mengambil tas, membawa sekeranjang
tortilla yang tadi dipesannya, kemudian menyeret kursi menuju meja jamur
Shikamaru. Dalam sekejap, ia sudah duduk manis sebagai orang ketiga sambil
mengunyah tortilla.
“Mau?” tanyanya ringan, menggeser
keranjang tortilla.
Shikamaru tidak percaya. Si maid dan si dokter.
Lizzy tersenyum maklum. “Aku Tsuki dan ini, EmeraldGirl_09. Kami berdua datang ke gathering yang Anda maksud. Kami harap Anda dapat menjelaskan apa
yang terjadi pada An Yuuhi,”
.
.
.
Jadi, sudah sejauh ini yang diketahui
Shikamaru; Ada enam penulis. Kasus ini memang ternyata mengarah pada grup forum
penulis-penulis ini, meski motifnya masih belum jelas. Mengesampingkan
pembunuhan berdasarkan ciri-ciri fisik, Shikamaru sekarang merasa lebih
terarah.
Ada Black Butterfly atau Hinata Hyuuga,
Tsuki atau Lizzy, EmeraldGirl_09 atau si Dokter, dan yang terakhir—sekaligus
korban—An Yuuhi atau Sarutobi Kurenai. Empat orang penulis, menyisakan dua
sisanya yang masih misteri.
“Jadi, kalian berdua sudah tahu
kasusnya? Ini bukan pembahasan umum, saya harap kalian bisa merahasiakannya
dari pihak lain yang tidak terlibat,” Shikamaru menyelipkan batang rokok di
bibirnya. Dia tak pernah menyulutnya, hanya membiarkan rokok itu utuh sampai
dia selesai melakukan sesi tanya-jawab, kemudian menaruhnya kembali bersama
batangan rokok lain yang tidak pernah disulut. “Saya Shikamaru Nara, kepala
penyelidikan.”
“Namaku Sakura Haruno, dokter spesialis
anak di Rumah Sakit X. Atau EmeraldGirl_09.
Aku tinggal sendiri. Umurku baru duapuluh tiga. Salam kenal.” Menyodorkan
sepotong kartu nama, Shikamaru juga menyerahkan kartu namanya.
“Aku Lizzy atau Tsuki atau Tenten.
Imigran dari Guangzhou. Masih kuliah jurusan biologi tanaman dan botani di
Universitas H. Aku kerja sambilan di sini yang mengharuskanku menggunakan nama
samaran. Umurku duapuluh, meski yang paling muda di dalam forum adalah
Neko-chi. Dia baru delapan belas.”
Shikamaru mengingat detailnya. Dia tak
memerlukan catatan atau sejenisnya. Dia hanya membutuhkan otaknya.
“Sebenarnya, untuk jawaban awal
pertanyaanmu, tidak. Kami tidak tahu.” kata si Dokter. “Aku kebetulan sedang
mengunjungi Ridchor, lalu Lizzy tiba-tiba memanggilku. Kukira ada apa,”
“’Apa’ yang Anda sebutkan bukan sesuatu
yang tepat. Sesuatu tejadi, melibatkan Sarutobi Kurenai. Dia dibunuh. Mayatnya
dimutilasi menjadi beberapa bagian. Sebelumnya terjadi juga pembunuhan yang
sama. Pelakunya sama-sama hanya mengambil tangan kiri korban. Dan saya pikir
ini juga melibatkan gathering yang
Anda lakukan minggu lalu. Bisa jadi pelakunya adalah salah satu dari author-author forum.”
Lizzy duduk, menghela napas berat. “Kami
tidak berharap ini terjadi. An Yuuhi adalah wanita yang baik, meski orientasi
seksualnya berbeda. Kau tahu? Dengan tetangganya.” Ada sedikit jeda. “Tapi
kupikir, tidak ada salah satu dari kami yang bermaksud buruk. Kami tahu sifat
penulis dan saling membuka identitas sebelum pertemuan itu. Hanya Black
Butterfly yang tidak hadir, tapi kami semua tahu dia sangat tertutup.”
Shikamaru mengangguk. Tentu. Yamanaka
Ino dan Sarutobi Kurenai memiliki hubungan yang tak biasa dan ditutup rapat
dari telinga Takeshi. Sementara Black Butterfly tampaknya memang begitu
tertutup.
Sakura Haruno berhenti makan. Ia
meluruskan punggung sebelum benar-benar bertanya. “Korban lainnya? Kalau keduanya
tidak berhubungan, belum tentu pelakunya salah satu dari kami. Kenapa kau bisa
begitu yakin? Aku bukan pelakunya, kalau itu yang kaucurigakan.”
Shikamaru mengangguk setuju. “Memang
benar. Tapi tidak masuk akal jika mengincar berdasarkan ciri-ciri fisik saja,
apalagi yang diambil hanyalah tangan sebelah kiri. Kasusnya berhubungan karena
kedua korban sama-sama hilang bagian tangan kirinya.” Dia mengeluarkan foto
Konan. “Ini adalah korban pertama, Konan, aktris dan penyanyi. Apa kalian
mengenalnya lebih jauh?”
Sakura meraih foto itu. “Ini mirip… ”
Lizzy menutup wajahnya dengan kedua
tangan, “Ya Tuhan,”
Shikamaru menanti.
“D-Dia datang di gathering kami, dengan sedikit riasan wajah. Ya, itu K-Konan.
A-Atau kau mengenalnya sebagai Zenbazuru,”
Jelas sudah.
Kedua korban memang berhubungan dengan
perkumpulan di Ridchor. Berarti yang ada di sana adalah Sakura, Tenten, Konan,
Neko-chi, dan Kurenai. Lalu siapa Neko-chi?
“Saya sudah membongkar akun fanfiksi
Sarutobi-san. Saya tahu nama-nama.
Lalu siapa yang kalian kenal sebagai Neko-chi?”
“Neko-chi adalah seorang mahasiswi. Dia
gadis yang pemalu dan tinggal di Yokohama. Rambutnya cokelat, dicat, panjang
sepinggang. Namanya siapa? Ah aku
lupa. Haruno-san?” Lizzy menyikut
Sakura.
“Hanabi. Namanya Hanabi. Dia tidak
memberikan nama keluarganya.”
“Apakah kalian berfoto bersama? Saya
ingin melihatnya, agar lebih mudah diidentifikasi.”
“Oh ya, tapi Hanabi tidak berada dalam
foto.” kata si Dokter, mengambil iPad di meja Shikamaru. “Lihat?”
Dia menunjukkan foto mereka berempat di
dalam iPad. Ridchor memang punya fasilitas photo
booth, mengingat tren yang sekarang sedang bekembang.
“Ya, dia bilang dia harus mengejar
kereta ke Yokohama. Waktu itu memang gathering
diadakan pukul lima sore. Kasihan Hanabi,”
“Apakah kalian tahu dia tinggal di
mana?”
“Tidak, kami tidak berbagi alamat.
Rasanya masih sulit percaya dengan teman yang baru ditemui meski sudah lama
kenal, bukan?”
Shikamaru mengangguk setuju.
Akhirnya, pembicaraan berlangsung lebih
lama. Gelas-gelas minuman memenuhi meja ditambah sekeranjang kentang goreng
yang telah kosong. Sebelum pergi, Shikamaru berpesan agar mereka berdua
hati-hati. Setelah itu, dia berjalan menuruni lorong tangga yang sempit.
.
.
.
Senin pagi, Shikamaru menguap memasuki
kantor. Disapa beberapa rekannya yang tidak seberapa, serta Obito Uchiha yang
tertidur di kursinya dengan kaki terangkat ke atas meja.
“Hei, bangun, sialan. Jangan tidur di
sini.” Ia menendang kaki Obito.
“Apa?
Apa—oh, hanya kau, Jabrik.” Dia menguap lebar-lebar. “Aku lembur kemarin,
sementara kau asyik-asyikan di Ridchor. Siapa yang sialan,”
“Kau punya ruanganmu sendiri, Uchiha.
Lagipula aku ke Ridchor untuk bekerja. Salahkan kelambananmu dalam meretas data
server internet. Kalau kau lebih cepat, aku tidak perlu repot-repot mengawasi
Ridchor.”
“Aku tidak punya akses data pribadi
masyarakat umum. Akhir-akhir ini tingkat keamanan data personal lebih
diutamakan. Lain kali aku yang mengawasi, kau yang jadi hacker.”
“Brilian,” Shikamaru memutar mata.
Obito bangun dan menyeret dirinya
sendiri menuju sofa di sisi ruangan. Shikamaru membiarkannya. Kerja lembur
memang tidak pernah menyenangkan, tapi ia sendiri menikmati pekerjaan lembur.
Tempat tinggalnya merupakan apartemen sempit yang bercat monoton. Dia lebih
suka diam di kantor lebih lama, mengerjakan hal-hal berguna ketimbang tidur.
Si Uchiha adalah kasus yang berbeda. Dia
tinggal di mansion, bukan apartemen sempit, yang isinya banyak video games.
Sisa hari itu tidak menyenangkan. Pulang
pukul empat sore, hanya mengerjakan berkas-berkas biasa dan mencari data-data
situs fanfiksi lebih lanjut. Tidak ada nama Hanabi dalam daftar penduduk
Yokohama. Hanabi yang lain ditemukan di prefektur berbeda yang belum ditelusuri
lebih lanjut karena Obito lelah.
Keluar dari kantor, ia mengunjungi
kombini—minimarket serba ada—untuk sekedar membeli bakpau ayam dan ramen
instan. Dia duduk di luar kombini, menikmati sore dan langit jingga sambil
makan. Suasananya nyaris tepat untuk
tidur.
Saat itu waktu menunjukkan pukul lima.
Bakpau dan ramennya sudah habis tak bersisa. Setelah meminum air mineral,
Shikamaru menyandarkan diri dan bersantai. Terkadang jika berlama-lama
bersantai begini memang hanya akan membuatnya malas.
“Nara-san?”
Nyaris tertidur, ia mendengar suara
lembut. Shikamaru membuka kelopak matanya dengan enggan. Gadis bernama pena
Black Butterfly berdiri di depannya, memakai gaun selutut berbahan kamisol.
Bukan waktu yang tepat, sungguh.
“Hyuuga-san,” Sedikit mengucek mata, Shikamaru kemudian meluruskan
punggung.
“Baru pulang dari kantor, Nara-san?” Hinata juga memegang seporsi ramen
instan, ia lalu duduk di kursi seberang Shikamaru. “Tidur di tempat umum bukan
hal yang baik,”
“Saya tahu.”
Tercium wangi kuah ramen yang kental.
“Mm,” Gadis itu menggumam, mengaduk
ramen. “Bagaimana perkembangan kasusnya,”
Sang polisi menyadari tangan yang
digunakan Hinata lebih aktif tangan kiri. “Belum banyak kemajuan. Anda kidal,
Hyuuga-san?”
Hinata menyuap ramen dengan sumpit di
tangan kiri. “Ya, bawaan lahir. Genetik.”
“Omong-omong, bagaimana pendapat Anda
soal tangan kiri? Apakah melambangkan sesuatu?” Shikamaru tiba-tiba tertarik
dengan fakta tangan kiri, mengingat setiap korban kehilangan tangan sebelah
kirinya.
“Nara-san tidak usah formal, kita bukan sedang berada di dalam kantor,
kan?” Hinata tertawa lembut, enak didengar. Seperti lonceng gereja.
Bergemerincing dalam telinga. “Aku menganggapnya sebuah keberuntungan.”
Keberuntungan.
Pendapat yang aneh.
“Maaf, sudah terbiasa.” Otak Shikamaru
berputar. Keberuntungan semacam apa yang dibawa tangan kiri? “Anda sendiri baru
pulang kerja?”
“Ya, kerja sambilan. Di kafe
universitas. Aku sendiri sedang kuliah, jurusan kedokteran. Sekarang sedang
mengerjakan tugas akhir.”
“Sakura Haruno juga seorang dokter,”
“Siapa?”
“EmeraldGirl_09.”
“Oh ya. Tapi dia spesialisasi anak-anak.
Seperti dokter umum biasa.”
“Memangnya Anda mau mengambil
spesialisasi apa?”
“Mungkin bedah syaraf. Aku tertarik
dengan syaraf-syaraf tubuh, efektivitas, dan semuanya. Aku menyukai anatomi
tubuh aktif.” kata Hinata. “Kau tahu kan, yang hidup.”
“Menarik. Tidak tertarik dengan
kedokteran forensik?” Rasanya kedokteran forensik lebih tepat untuk Hinata yang
menyukai anatomi. Dia bisa memperkirakan berbagai macam penyebab kematian,
luka, usia mayat, dan masih banyak lagi. Kedokteran forensik menyenangkan, tapi
dia harus bersedia menangani mayat-mayat mengerikan. Contoh sederhananya, hasil
mutilasi.
“Aku enggan terlibat menjadi agen
federal atau membedah mayat. Mereka sudah mati, kautahu. Tidak berhak
diganggu.”
Shikamaru terkekeh. Hinata dan aliran
goth-nya yang aneh. Padahal tadinya dia pikir Hinata suka membedah mayat.
Seperti film-film thriller, seolah
sedang berhadapan dengan zombie.
“Kupikir semua mahasiswa kedokteran selalu membedah mayat rumah sakit.”
“Percayalah,” Ramen Hinata hampir tandas.
“Aku tak senang melakukannya.”
Shikamaru tertawa lagi. Gadis itu aneh
dan lucu. Hari berubah gelap, waktu telah melewati pukul enam. Makanan sudah
tandas dan mengenyangkan. Hiburan yang cukup menyenangkan bagi Shikamaru menghabiskan
sorenya dengan Hinata.
Mereka berdua kemudian berjalan
menelusuri jalanan yang gelap. Di bawah sinar temaram lampu jalan yang
dikerubuti laron, Shikamaru berkata, “Saya antar pulang ya, Hyuuga-san. Tidak baik seorang gadis pulang
malam-malam seorang diri.”
Hinata mengangguk malu-malu, lalu
keduanya masuk ke dalam mobil.
.
.
.
Seminggu telah berlalu. Atmosfir kantor
berubah menjadi serba merah muda. Shikamaru memasuki ruangannya dan mendapati
sebuah teddy bear merah muda bertuliskan ‘I
will always love you’ tertata rapi di atas mejanya. Ia tiba-tiba merasa
geram dan melempar si teddy bear malang ke dalam tempat sampah.
Siapa sih yang membuat ulah?
“Setelah sekian tahun single, akhirnya kepala penyelidikan
kita punya kekasih juga.” Goda Obito yang berdiri di ambang pintu. “Siapa
namanya? Hiyata? Hirata?”
“Hinata,” Shikamaru melempar pandangan
sadis. “Dan apa yang kaudefinisikan dengan kekasih?”
“Harusnya kau punya kekasih dari dulu,
supaya aku tidak dikira gay. Banyak
yang curiga kita homoan, padahal aku
sudah punya kekasih.” katanya pura-pura sedih.
“Iya, kekasihmu itu perangkat Xbox 360,”
“Aku punya kekasih betulan, tahu. Aku
ini punya kehidupan selain hanya menjadi hacker
dan pemain game.” Lelaki itu
kemudian mengambil teddy bearnya, lalu melemparkannya lagi ke atas meja Shikamaru.
“Hadiahku. Selamat menjalani kehidupan cinta setelah dua puluh enam tahun ini.”
Shikamaru berdecak sementara Obito
melenggang santai keluar sambil menutup pintu. Ada-ada saja si Uchiha. Partner in crime usil semenjak mereka
berdua memulai karir sebagai polisi. Ia melihat boneka itu, lalu menyimpannya
di lemari, bersama puluhan barang aneh lain yang diberikan Obito jika ada
acara-acara tertentu.
Tiba-tiba teleponnya berbunyi. Shikamaru
menunggu sampai deringan ketiga sebelum mengangkat.
“Kepala tim penyelidikan, Shikamaru
Nara.”
“Bos,
kami menemukan korban baru. Distrik F.”
“Segera menyusul, bertahanlah di sana.”
Suara telepon menutup.
Shikamaru buru-buru mengambil kunci,
mengabaikan monitornya yang masih menyala, menginstruksikan beberapa anak buah
agar ikut dengannya. Mobilnya terparkir di sisi jalan depan kantor. Ia
menyalakan sirine, kemudian segera melesat pergi.
Ada korban baru. Siapa yang menjadi
korban? Tenten, Sakura, Hinata atau Hanabi? Kenapa bisa sampai terjadi?
Bukankah Obito selalu mengawasi?
Sialan.
Kenapa bisa sampai ada korban baru?
Kapan ia lengah?
Ia merasa seluruh timnya adalah
orang-orang yang siap siaga. Mereka profesional. Ia tak berhenti berhubungan
dengan Lizzy maupun Sakura Haruno. Ia dan timnya, dalam frekuensi waktu tertentu,
akan selalu berusaha memastikan mereka berdua baik-baik saja.
Shikamaru menyetir gila-gilaan dan
sampai di distrik F dalam waktu tigapuluh menit. Lokasi kejadian adalah sebuah
stasiun kereta bawah tanah yang sudah lama tidak dipakai. Mobilnya berhenti di
pinggir jalan. Ia mematikan sirine polisi, kemudian berjalan keluar diikuti
rekannya. Ia melangkah masuk melewati garis polisi berwarna kuning.
Stasiun bawah tanah itu terdengar ramai.
Dua orang rekannya dan tim forensik sudah duluan tiba. Shikamaru yang meminta
begitu, agar di lokasi kejadian setidaknya mayatnya sudah dibersihkan. Tinggal
menunggu laporan mengenai penyebab dan kondisi korban.
Melangkahi anak tangga terakhir,
Shikamaru mendapat penerangan yang minim. Rekan-rekannya sudah menaruh lampu
darurat di ujung ruangan, tapi tetap saja cahayanya tidak cukup jelas, meskipun
Shikamaru tetap bisa melihat darah yang berceceran di mana-mana.
“Nara!” panggil seorang rekannya.
Shikamaru menghampiri. Rekannya sedang
berdiri di dekat rel kosong. “Bagaimana?”
“Tubuh korban kali ini hanya terbagi
tiga. Bagian kepala, tubuh utama, dan pinggang sampai kaki. Tangan kiri
sama-sama hilang. Ada memar di kepala dan tubuh. Korban sepertinya didorong
dulu ke rel sebelum dieksekusi. Si pelaku di sini seolah-olah menyajikan
pembunuhan seolah korban tertabrak kereta. Tetapi kita sama-sama tahu bahwa
stasiun bawah tanah ini sudah lama tidak dipakai.”
“Ada kemungkinan dia dibunuh oleh
kereta?”
“Mungkin. Kami belum menelusuri jalur
rel ini. Menurut tim forensik, korban sepertinya memang dihantam sesuatu.
Tulang kepalanya retak dan tubuhnya memang terpisah-pisah, tidak berada di satu
tempat. Tapi aku tidak melihat kereta yang pernah lewat sini,”
“Korban sudah diidentifikasi? Orang
macam apa yang pergi ke sini pagi-pagi,”
“Kami sudah mendeteksi korban melalui
sidik jari yang tersisa. Korban bernama Sakura Haruno, berumur duapuluh tiga
tahun, seorang dokter, dan sedang kita awasi. Yang melaporkan kejadian ini
adalah seorang cleaning service.
Tampaknya pemerintah ingin merekonstruksi ulang stasiun, menjadikannya aktif
kembali.”
“Baiklah. Terima kasih atas info-info
yang berhasil kaudapatkan. Selamat bekerja kembali. Nanti mungkin rekan yang
lain bisa menginterogasi saksi mata. Saya ada urusan lain dengan Obito. Ada
satu profil yang masih abu-abu.”
“Baik. Dimengerti,”
Setelah itu rekannya kembali mengurus
lokasi. Membereskan sisa-sisa darah yang berceceran dengan cairan kemikal
khusus dan menghilangkan bukti-bukti bekas pembunuhan karena enggan mengganggu
jalannya konstruksi stasiun. Sementara beberapa anggota lain menelusuri rel
dengan senter.
Shikamaru mengerutkan alisnya
dalam-dalam. Pelik. Kenapa Sakura Haruno? Siapa pelaku sebenarnya? Antara
Hanabi, Lizzy, dan Hinata, sekarang. Nama-nama semakin berkurang, tapi
Shikamaru tidak menunggu sampai nama-nama itu habis. Misinya gagal kalau nama
itu menyisakan satu orang. Dia gagal melindungi, meski pada akhirnya tetap
menangkap si pelaku.
Prioritasnya hanya satu sekarang;
mencari tahu siapa Hanabi.
Mobil ambulans datang beberapa menit
kemudian. Mayat yang sudah dimasukkan ke dalam kantung segera diangkat dan
dibawa oleh tim forensik. Shikamaru hendak kembali ke mobil, mencari profil
Hanabi di kantor sebelum seseorang berteriak,
“Hei, hei, di sini ada kereta!” suaranya
menggema sepanjang rel yang kosong.
Sialan.
.
.
.
“Jadi, Sakura Haruno dibunuh dengan
ditabrak kereta?” Obito Uchiha duduk di ruangannya sambil memegang cangkir kopi
dan sekotak donat, merasa kasihan dengan partner
in crime-nya yang sedang galau.
“Ya. Timku tadi menemukan keretanya. Ada
percikan darah di roda dan bagian depan kereta, DNA-nya kemudian cocok dengan
korban. Asal kau tahu, stasiun itu aromanya sudah berubah menjadi aroma darah.
Pengap, lembap, membuat stress. Aku benci darah.” Shikamaru membersitkan hidung,
terganggu dengan seluruh kejadian yang dia alami belakangan ini.
“Gila, kemampuan macam apa yang dia
punya sampai-sampai bisa menjalankan kereta yang sudah lama berhenti
berfungsi?”
“Aku pun tidak habis pikir, Uchiha.”
kata Shikamaru stress.
“Baiklah, Man. Aku akan membantumu. Mari kita lihat siapa Hanabi di prefektur
lain.” Obito mengetik beberapa kata, kemudian layar PC-nya menunjukkan peta
kepulauan Hokkaido, ke wilayah Hokkaido Utara, lalu diperinci jadi subprefektur
Sooya, kota Wakkanai.
“Hokkaido?”
Obito mengangkat bahu. Dia mengetik
lagi, lalu keluar beberapa informasi.
“Lihat ini. Hanabi Hyuuga, delapan belas
tahun. Rambut cokelat, mata bening. Masih keturunan anggota keluarga kekaisaran
zaman Edo. Dan menariknya, kau lihat dia sangat identik dengan siapa…”
“… Hinata Hyuuga.”
“Tepat,” Obito menepuk bahu Shikamaru.
“Mereka pasti ada hubungan darah. Pacarmu ternyata berdarah biru. Bagaimana
kedengarannya?”
“Kedengarannya dia terlibat banyak
dengan kasus pembunuhan,”
“Nara, kau benar-benar curigaan. Sejauh
yang kutahu tentang Hinata Hyuuga, dia tinggal di sini, di Tokyo. Dia memang
sedang kuliah jurusan kedokteran. Tak banyak info mengenai relatif atau
keluarganya, tetapi dia memang tinggal di sini. Berikan sedikit kepercayaanmu
padanya, Man.”
Shikamaru mendengus.
“Pacarmu cantik, calon dokter, berdarah
biru, apanya yang kurang?”
“Kasus pembunuhannya,”
“Oh, mati saja kau, Nara.”
Setelah itu, Shikamaru berbalik
meninggalkan ruangan Obito. “Aku masih punya urusan. Terima kasih untuk
infonya.”
Rekannya itu hanya mengangguk dan
melambai. Shikamaru mengeluarkan ponsel, menekan beberapa tombol nomor. Dia
kemudian mengangkatnya menuju telinga.
“Halo?”
“Lizzy. Ini Shikamaru Nara. Anda sedang
berada di mana?”
“Kenapa
Anda terdengar panik? Apa yang terjadi—aku eh, aku sedang berada di kampus.
Anda tahu alamat kampusku kan? Masih Distrik K. Jalan kaki limabelas menit dari
Ridchor.”
“Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana.”
Shikamaru menutup telepon tanpa mendengar penjelasan Lizzy lebih lanjut. Ia
mungkin akan meminta Lizzy tinggal di tempat yang lebih aman, yang bisa diawasi
rekan-rekannya lebih leluasa.
Tadinya dia ingin menelepon Hinata lebih
dulu. Tapi dia punya firasat bahwa Hinata baik-baik saja, atau kalimat lebih
halusnya, dia bisa menjaga dirinya sendiri. Hinata wanita yang kuat.
Shikamaru keluar dari kantornya,
berjalan cepat sambil menggenggam kunci mobil. Beberapa menit setelah mesin
dinyalakan, dia lalu melaju menuju Distrik K.
Universitas Lizzy sebenarnya tidak jauh
dari Ridchor. Hanya perlu berbelok sedikit, dia sampai pada wilayah kampus yang
lumayan luas. Dia melihat Lizzy berdiri di depan gedung rektorat, lalu memberi
klakson singkat. Lizzy melambai dan tersenyum.
Dia berlari-lari kecil menghampiri mobil
polisi.
“Konnichiwa.”
Shikamaru mengangguk kalem. “Duduklah di
belakang.”
Lizzy yang sekarang agak terlihat
berbeda dari penampilannya di Ridchor. Dia tampak lebih santai dengan kaus
tanpa lengan dan celana hitam sebatas mata kaki. Rambutnya dicepol dua.
Gadis itu membuka pintu belakang,
kemudian masuk ke dalam mobil. Dia membawa tas berisi laptop yang terlihat
besar dan berat. Shikamaru menjalankan mobilnya.
“Anda terlihat berbeda tanpa jaket Mekakushi-dan waktu itu.”
“Mekaku—apa?”
“Maaf, aku lupa Anda bukan seorang otaku. Lupakan.”
Mobil melaju tenang di atas jalanan
beraspal. Shikamaru merasa tidak enak telah seenaknya menjemput Lizzy tanpa ada
penjelasan apa-apa. Setelah keluar dari kawasan kampus, Shikamaru membuka
pembicaraan.
“Sebenarnya, mulai saat ini Anda akan
tinggal di bawah pengawasan polisi. Pakaian bisa diantarkan nanti. Saya
berusaha untuk mengamankan Anda terlebih dahulu.”
Lizzy menatapnya. Entah kenapa ia merasa
gugup. “Kenapa?”
“Sakura Haruno terbunuh pagi ini, di
stasiun kereta yang sudah tidak terpakai di Distrik F. Kami mencegah untuk
terjadi lebih banyak pembunuhan dan lebih banyak orang. Tiga orang sudah
meninggal, bersisa tiga orang lagi yang entah pelaku atau calon korban.” kata
Shikamaru. Lampu merah ada di depan, ia menginjak rem.
“A-Apa? Haruno-san telah… oh astaga, ya Tuhan.” Lizzy panik. “A-Aku bukan
pelakunya, Nara-san. Bukan aku.”
“Bisa jadi bukan Anda… sebentar, saya
ingin menelepon terlebih dahulu. Silakan, jika Anda membutuhkan waktu.”
Shikamaru menekan nomor-nomor. Kali ini
milik Hinata.
“Halo,” Lampu menyala hijau lagi.
Lizzy mulai terisak, setengah
mendengarkan, setengah tidak peduli. Pembunuhan berantai seperti ini merupakan
terror yang mengerikan. Beberapa waktu lalu, ia sempat mengumumkan bahwa dua author telah meninggal di profil
fanfiksi miliknya. Hanya ada tanggapan berduka dari Haruno Sakura. Sementara
dua penulis lainnya sedang sama-sama tidak online.
Banyak yang tidak percaya. Padahal
rasanya baru kemarin ia berhubungan dengan Sakura Haruno. Lizzy tidak mendengar
banyak apa yang Shikamaru katakan. Pandangannya berkabut dan kunang-kunang. Dia
beralih pada trotoar jalan.
Saat itu semuanya berjalan lambat.
Dia melihat seseorang berjalan di
trotoar, lalu otomatis berteriak, “Itu Neko-chi!”
Shikamaru tidak sempat berhenti. Ia yang
sedang menelepon Hinata hanya bisa menoleh ke kiri, melihat sosok wanita yang
juga sedang menelepon. Refleks. Saat itu dia hanya melihat pacarnya, sedang
menelepon dan menjinjing tas besar di trotoar. Tidak yakin dengan apa yang dilihat,
dia melirik Lizzy yang masih berteriak.
“Itu Neko-chi! Itu Neko-chi! Hanabi!
Nara-san, Anda seharusnya berhenti,
lalu kita sama-sama membawanya, menyelamatkannya!”
Siapa
yang dia panggil Hanabi? Hanabi Hyuuga ada di Hokkaido.
“Itu bukan Hanabi,”
Hanabi
memang mirip Hinata Hyuuga, dengan tinggi badan dan usia yang berbeda.
“Benar itu Hanabi! Hanya rambutnya yang
dicat menjadi biru tua. Dia memang suka mengecat rambutnya! Aku kenal jaket
yang dipakainya! Sama seperti yang dia pakai di Ridchor!”
“Nara-san, mungkin sekarang Hanabi dalam bahaya.”
“Nara-san!”
“Nara-san!”
Kalau
benar itu Hanabi, mungkin memang sebaiknya kita tidak berhenti.
.
.
.
“Nara, aku meretas sumber server
internet Black Butterfly. Dia memakai protokol keamanan yang merepotkan. Dari Australia,
kalau tidak salah. Namun aku berhasil meretasnya. Dan tebak apa, lokasinya sama
dengan server internet Neko-chi. Hanya saja, dia memakai protokol keamanan
lokal untuk akun Neko-chi.” kata Obito saat Shikamaru memasuki kantor polisi
bersama Lizzy. “Sepertinya intuisimu benar,”
.
.
.
Hari itu, mereka mengkonfirmasi berbagai
macam hal. Mulai dari rekaman CCTV Ridchor di hari gathering, jati diri Hyuuga Hinata, di mana keluarga asalnya, CCTV
rekaman di tempat tinggal Konan, dan bagaimana dia dibunuh. Konan tidak pernah
luput dari kamera, adalah ketidak-jelian Hinata dalam melancarkan aksi.
Semuanya menjadi begitu masuk akal.
Bagaimana perspektif Hinata terhadap dunia, aliran gothnya yang aneh, dan kecintaannya terhadap anatomi tubuh manusia
menjadi obsesi terbesar dalam dirinya. Beberapa psikiater menyimpulkan Hinata
punya dua kepribadian. Neko-chi dan Black Butterfly.
Dia sangat suka tangan kiri dan
menyimpannya sebagai keberuntungan. Keberuntungannya dalam meneruskan obsesi
aneh dalam aliran gothic dan
referensinya dalam menulis cerita. Membuat sebuah cerita yang sempurna
memerlukan totalitas. Maka dia bersedia melakukan apa pun untuk referensi,
membunuh, memutilasi. Apalagi fanfiksi yang dia tulis mulai merambah genre kriminalitas. Semakin banyak tangan
yang dia kumpulkan, semakin besar keberuntungan dan pencerahan yang dia
dapatkan untuk menulis, adalah scenario paling masuk akal yang bisa dipikirkan
Shikamaru.
Nama asli Hinata memang Hinata Hyuuga.
Kakak dari Hanabi Hyuuga, anak tertua keluarga Hyuuga. Dia punya masalah psikis
yang aneh semenjak kecil karena sistem keluarganya yang tidak adil. Menurut
catatan kesehatan, Hinata berkali-kali ditangani oleh psikiater yang akhirnya
menyerah karena kemunculan dua kepribadian yang sangat berbeda.
Dia sangat cerdas dan bisa lulus tes
psikologi masuk salah satu universitas di Tokyo, jurusan kedokteran, karena dua
kepribadian berbeda tersebut.
Hari itu timnya menghabiskan waktu
dengan mendobrak kamar Flat Hinata yang kosong. Ada tas besar yang disimpan di bawah
ranjang, berisi banyak alat logam berat. Tang, kunci inggris, gergaji tangan,
gergaji listrik, dan belasan macam pisau tajam.
Di kamar mandinya, terdapat cairan
kemikal pengawet mayat dan campuran lain untuk pengawetan beserta akuarium
berbahan khusus yang menampung tiga potongan tangan bagian kiri dengan tulang
yang masih menyembul. Semuanya direndam, diawetkan, sudah kehilangan darah dan
bau.
Hanya tercium aroma cairan kemikal di
kamar mandi. Membuat timnya nyaris muntah. Mereka semua menyita barang-barang
tersebut, membawanya ke ruangan di kantor khusus penyimpanan benda-benda dari
kasus-kasus yang tidak terlupakan.
Tangan-tangan dikembalikan ke ruangan
mayat. Potongannya kini menjadi lengkap untuk bisa dikuburkan.
Lalu mereka bersiap-siap pergi ke
Hokkaido.
.
.
.
Di kediaman Hyuuga yang sarat
ketenangan, Hinata hanya disambut pelayan di pintu masuk, dikenali sebagai
putri tertua klan. Ia masuk, menyembunyikan diri. Tahu dirinya sedang diincar
dan diikuti. Cepat atau lambat, dia akan diadili. Hinata menghindari bagunan
utama kepala keluarga, melewati kamar Hanabi, lebih memilih diam di kamarnya
yang menghadap kolam ikan berhias bambu.
Pukul sepuluh malam, ada keributan di
luar yang menyebabkan kepala keluarga Hyuuga yang berusia senja bangun dari
tidurnya. Dia menanyakan maksud dan asal mereka. Mereka merupakan pihak
penyelidikan kepolisian Tokyo yang hendak menangkap putrinya.
Sang kepala keluarga tahu suatu saat hal
ini akan menimpa putrinya. Dia hanya bisa mengela napas, sejak awal Hinata memang
berbeda. Dia memerhatikan dalam diam. Satu persatu kamar-kamar dibongkar.
Hinata Hyuuga didapati tengah berada
dalam salah satu kamar yang paling ujung di bangunan utama.
“Hinata Hyuuga, Anda telah dikepung oleh
kepolisian,” Sinar lampu helikopter menerangi kamarnya yang hanya berbatas
pintu geser kayu dan kertas, nuansa rumah tradisional. “Keluarlah pelan-pelan,
letakkan tangan Anda di kepala, lalu berlutut.”
Hinata menggeser pintu kamarnya,
melangkah keluar, melaksanakan apa yang diminta. Sesaat matanya menangkap
pandangan ayahnya yang tampak begitu lelah dan sedih, serta Hanabi yang tidak
peduli. Kemudian Nara Shikamaru datang menghampiri, memborgol kedua tangannya.
“Hinata Hyuuga, Anda ditangkap karena
telah melakukan pembunuhan berantai tingkat berat.”
Terdengar letusan pistol anestesi.
.
.
.
Tamat
Catatan:
11. Kasus
Pembunuhan Zodiak Tokyo adalah sebuah novel misteri pembunuhan. Dianggap nyata dalam
cerita.
22. Nendroid adalah
boneka figur tiga dimensi yang dapat dibongkar-pasang.
33. Gomen,
‘Maaf’ dalam bahasa Jepang
44. Ojigi,
sikap membungkuk 900 sebagai penghormatan orang Jepang.
55. Hikikomori,
istilah bagi seseorang yang menutup diri dari dunia. Biasanya enggan keluar
dari kamarnya.
66. Shogi
adalah permainan catur Jepang.
77. Konnichiwa,
‘selamat siang’ dalam bahasa Jepang
88. Otaku,
istilah bagi penggemar fanatik komik, anime
(film animasi dua dimensi) dan game
yang diproduksi oleh Jepang.
99. Mendokusai,
‘merepotkan’ dalam bahasa Jepang.
10. Unnie,
sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa Korea.
Comments
Post a Comment