Persepsi

Room, 29 Juli 2014.

Lebaran tahun ini, harus kuakui, bukan lebaran yang menyenangkan hati. Rencana selalu ada, selalu terbersit dalam pikiran, gagasan selalu dikemukakan. Namun rencana tak selalu berjalan sesuai keinginan. Dan, nyaris setiap tahun terjadi seperti ini.

Kami sekeluarga punya rencana setiap tahunnya. Kebetulan di tahun hijriyah yang ke-1435 ini, lebaran diselenggarakan di luar kota, dari keluarga pihak ayah. Ibuku memang asli orang kota metropolit Jawa Barat, sementara Kota ayah ada sekitar 45 kilometer dari sana. Acara dilangsungkan bergantian di sini dan di sana, digilir setiap tahunnya sesuai kesepakatan yang ada juga terasa adil bagi kedua pihak keluarga.

Namun kami pulang lebih cepat, sehari setelah shalat ied, pagi-pagi. Hanya karena persepsi. Yang kemudian mendorong ayahku untuk berhenti ikut campur dan mengundurkan diri, memaksa ibuku menelan sakit hati di depan mataku.

Maka, apa yang orang-orang bilang 'fitnah lebih kejam daripada pembunuhan' memang benar.

Orang-orang hanya melihat apa yang mereka lihat, hanya mendengar apa yang mereka dengar, hanya merasa apa yang mereka rasakan.

Pernahkah kita mengubah cara pandang kita? Bukan hanya dari sisi kita, tapi dari pandangan orang lain, pandangan umum?

Pernahkah kita, mendengar dengan penuh filter, tidak hanya menerima secara harfiah, tidak hanya terbawa arus gosip tentang ini itu? Berpegang penuh pada diri sendiri dan tidak mengikuti orang lain?

Pernahkah kita, mempertimbangkan apa yang orang lain rasakan? Sekejam apa pun orang lain, mereka juga dapat tersakiti oleh sikap kita yang terasa benar?

Pernahkah kita benar-benar memandang secara dalam terhadap orang lain? Tidak hanya menghakimi orang lain, tapi berpandangan objektif?

Ternyata ber-husnudzan itu susah. Netral itu susah. Berusaha untuk mendapatkan penilaian yang sama dari semua orang itu susah.

Bagiku, orang yang keras terhadap orang lain adalah orang yang ingin menyelamatkan orang lain. Sikap keras adalah pelapis kelembutan dan rasa peduli. Keras bukan berarti buruk. Dunia ini keras, semua orang setuju. Tapi apakah dunia ini buruk? Tidak.

If you're hard to yourself, the world will soft to you. If you're soft to yourself, the world will hard to you.

Quotes ini benar. Hard to yourself artinya adalah kamu bekerja keras, bertahan hidup, berjuang untuk mendapatkan hidup yang baik. Kamu disiplin terhadap dirimu sendiri, yang otomatis kamu pun akan disiplin terhadap orang lain. Karena pelajaran semacam itulah yang dibutuhkan. Memangnya orang-orang hebat seperti Steve Jobs bukan orang yang hard to himself?

Orang yang sukses adalah orang yang disiplin.

Logika yang lebih sederhananya begini, kalau orang terpenting dalam hidupmu sedetik lagi akan jatuh ke dalam jurang yang akan menghancurkan tubuhnya berkeping-keping apa yang kamu lakukan? Apakah kamu akan berteriak keras, menariknya, lalu memarahinya betapa berdiri di ujung tebing itu berbahaya? atau kamu akan bilang padanya dengan suara lembut, tanpa bergerak menariknya segera karena kamu pikir tindakanmu kasar?

Logikanya, jika sedetik lagi orang itu akan jatuh, kamu tak akan bisa berpikir apa-apa kecuali cepat menyelamatkannya. Menariknya dengan kasar pun tidak apa-apa, agar dia selamat. Memarahinya pun tidak apa-apa, agar dia sadar akan kesalahannya.

Itu yang disebut Keras. Karena ingin menyelamatkan orang lain.

Ketika kamu dididik keras oleh orangtua, kakak, teman, juga guru, artinya mereka ingin menyelamatkanmu. Ingin hal terbaik menjadi milikmu.

Apa yang ayahku dapatkan dari bersikap keras, adalah hinaan. Karena semua orang menarik kesimpulan secara harfiah.

Karena persepsi.

Apa yang beliau maksud sampaikan, diterima dengan pengertian yang berbeda. Dan pengertian yang berbeda itu menjadikan ketidakpahaman yang akhirnya disebar, dibicarakan di belakang. Mengetahui semua itu menjadikan beliau muak dan enggan ikut campur lagi.

Ayahku adalah sosok yang bijak. Apa yang beliau omongkan selalu ada makna-makna tersembunyi. Ayahku adalah seorang filsafat. Pendidikannya tinggi, S3, di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia.

Tapi tidak ada yang paham dengan kalimat-kalimat berbahasa tingginya kecuali aku dan ibu di keluarga kami. Dan lebih parahnya tidak ada yang mau tahu dengan penjelasan beliau karena imej keras dan galak. Tidak ada yang berusaha mencari jawaban, mencari penjelasan, apalagi kebenaran. Semua tenggelam hanya karena kata 'keras'.

Aku ikut bicara di dalam diskusi itu, namun lagi-lagi salah kaprah. Mereka pikir apa yang aku ucapkan adalah omongan orangtuaku yang di-copy mentah-mentah. Ini murni pemikiranku. Kenapa aku bisa begini? Hasil didikan orangtuaku, tentu.

Terbukti.

Mereka hanya memandang warna hitam dan putih dalam pandangan mereka. Mereka melupakan warna abu-abu diantara keduanya, ketika hitam dan putih bercampur; Di mana ada hitam, maka ada putih di dalamnya. Di mana ada putih, ada pula hitam di dalamnya.

Aku hanyalah anak SMA. Mereka sudah Sarjana. Dua tingkat pendidikan yang kontras ini ternyata tidak menjadi batasan pemikiran.

Aku kecewa. Benar-benar kecewa.

Satu hal yang kubilang pada sepupu-sepupu seumurku, sebelum aku pergi;

Jangan berpihak pada siapa pun. Berpihaklah pada diri sendiri.

Comments

Popular Posts