Sistem Pendidikan di Indonesia; Benar atau Salah?

Bandung, 12 Mei 2014

Baru-baru ini aku baca sebuah surat yang beredar di media jejaring sosial facebook. Aku lupa lagi siapa yang menulis, tapi itu adalah surat terbuka yang ditulis untuk menteri pendidikan kita, Bapak M. Nuh. Seperti dugaan, isinya mewakili seluruh perasaan pelajar yang merasa Ujian Nasional satu bulan yang lalu adalah sulit. Banyak pro-kontra yang aku alami selama membaca surat tersebut.

Aku di sini adalah pihak netral. 

Mungkin iya, pelajar di Indonesia (khususnya SMA) merasa keberatan dengan soal-soal UN yang katanya diambil dari kurikulum internasional. Kecewa dengan sistem kelulusan yang dipersulit seiring berjalannya waktu. Bahkan merasa guru-guru di sekolah pun kurang capable untuk bisa menyelesaikan soal tersebut. Merasa bahwa soal UN beratnya minta ampun, kalau guru sendiri tidak bisa mengerjakan.

Tapi, coba deh kita pandang dari sudut dan kacamata berbeda. 

Jujur, aku merasa surat ini terlalu banyak mengeluh. 

Aku bersekolah di salah satu SMA favorit, malah masuk jajaran 10 sekolah terbaik se-Indonesia. Alhamdulillah sekali. Di sana aku dapat guru-guru yang sangat inspiratif, cemerlang, dan soal-soalnya tingkat dewa.

Istilahnya begini, di sekolah kami, nilai 9 itu mitos. Bahkan aku pun kerap merasa bangga jika nilai ulangan Fisika bisa sampai ke angka 3. Nilai tertinggi yang pernah diraih oleh siswa di sini adalah 8 untuk eksak. Ketika nilaimu 3, kamu bersyukur. Kalau 6, kamu keren banget. Kalau pas KKM alias 7.5, kamu terlalu pinter. Kalau dapat 8, kamu DEWA. Disembah, homina-homina.

Kalau dapet 9 atau 10...? Ya, kamu nggak usah sekolah. Diusir sama anak-anak seangkatan.

Dari penjelasanku di atas, jelas level soal yang kami dan seluruh siswa di sekolah terbaik lain hadapi merupakan tingkatan yang benar-benar berbeda. Lebih tinggi dari SBMPTN dan SNMPTN yang konon katanya bikin keringat dingin.

Guruku bilang, sebenarnya UN kemarin tidak sulit. Media membesar-besarkan; UN Sekarang Soalnya standar Internasional! Padahal jika kita cek lagi, apa sih yang dikatakan 'sulit' itu?

Pada kenyataannya, dari 40 butir soal matematika, hanya satu soal yang merupakan soal yang benar-benar bagus, standar internasional. Sisanya? Soal biasa yang kamu jumpai di latihan pra UN. Tapi kenapa masih dibilang susah? Karena yang diperumit adalah angka, bukan konsep dasar matematika.

Sangat berkesan bagiku ketika guruku bilang, "Matematika tidak melatih kamu untuk pintar berhitung."

Berbeda sekali kan, dengan doktrin selama kita bersekolah SD-SMP dulu?

"Kalau kamu mau pintar berhitung, kamu masih kalah sama tukang beras. Tukang beras jarang punya kalkulator buat menghitung, semuanya ada di kepala. Tapi, lihat, apakah dia punya latar pendidikan yang tinggi?"

Di SMA ini aku belajar banyak. Matematika-ku lebih banyak dituntut konsep. Angka-angkanya sederhana. Bahkan ketika ulangan trigonometri, rumus-rumusnya ditulis di papan tulis. Bahkan angka-angka yang digunakan juga sudut istimewa.

"Bapak kan, nggak melatih kamu untuk pintar berhitung."

Inilah alasannya kenapa PTN favorit selalu didominasi oleh siswa-siswi dari SMA favorit pula. Aku merasakan pahit manisnya selama bersekolah. Stress yang terlalu tinggi karena nilai tidak pernah tuntas. Kadang-kadang, rasanya pengen loncat aja dari gedung lantai 3 sambil bilang, "Teacher, Notice Mee~"

Tapi, pada kenyataannya pada saat SBMPTN, anak yang selalu dapet 5 atau 6 ulangan fisika, bisa masuk STEI ITB. Oh, ya, pernah juga rata-rata UAS seangkatan waktu itu nilainya 3. Rata-rata angkatan lho. Soalnya lebih tinggi lagi daripada soal Olimpiade. Sedih banget.

Karena itu, agak kecewa ketika soal UN tingkat kesulitannya dinaikkan sedikit, sudah protes sana-sini. Banyak yang tidak lulus dan sebagainya. Memang soal UN dirancang untuk se-Nasional, memang bahkan jangankan anak kota yang tidak bisa, bagaimana dengan anak daerah terpencil yang duduk di bangku sekolah pun sudah bersyukurnya sambil menangis? 

Aku tegaskan, hal ini membuktikan betapa rendahnya standar pendidikan Indonesia, juga tidak meratanya sistem pendidikan. Di lain tempat, aku dan teman-temanku dapat soal yang begitu tinggi level kesulitannya, dan terbiasa mengerjakannya, di lain tempat, bahkan untuk melanjutkan sekolah saja susah.

Belum masalah contek-menyontek yang ternyata masih terjadi meskipun sudah memakai sistem 20 paket ber-barcode. Setiap sistem memang tidak ada yang sempurna.

Nah, maka peningkatan soal UN ini adalah upaya negara kita untuk memperbaiki rendahnya standar pendidikan. Memang masih membutuhkan penyesuaian, tapi apa salahnya berjuang?

Jangan terus-terusan mengeluh, kawan.

Teringat pesan ibuku, "Tidak penting bagaimana ribet sistemnya, seberapa susah soal-soalnya, yang penting kamu berjuang dan mampu melewatinya. Kalahkan sistem tersebut, bagaimana pun keadaannya."

Perlu aku ingatkan pula, memangnya, sudah berapa lama sih negara ini berdiri?

Bahkan belum 100 tahun. Kita adalah negara berkembang, masih tergolong muda, masih menyesuaikan. Kebetulan generasi kitalah yang merasakan jatuh-bangunnya negeri ini untuk menstabilkan dirinya sendiri. Lihat, kita malah bisa belajar dari masa lalu.

Sejarah dipelajari agar orang-orang tidak melakukan kesalahan yang sama dua kali. Begitu juga dengan Indonesia. Karena kita generasi berikutnya yang memperjuangan Indonesia, bukankah saat ini adalah di mana kita bisa merevisi sistem agar bisa membuat sistem yang lebih baik di masa yang akan datang?

Jangan mengeluh soal UN sulit. Jangan pedulikan jika bahkan guru kita sendiri tak mampu mengerjakan. Bilang pada dirimu sendiri, aku bisa, aku sukses.

Sebenarnya, kalau dilihat secara menyeluruh, bisa dibilang kita adalah remaja yang beruntung. Dengan sistem yang belum terorganisir dengan baik, otomatis kita berpikir untuk membuat sistemnya menjadi lebih baik. Dari sana, pikiran kita menjadi kompleks, penuh persoalan, penuh pemikiran.

Bukankah itu beruntung?

Bayangkan remaja yang tinggal di negara yang sudah mapan, sudah enak. Kadang-kadang malah mereka tidak tahu bagaimana rasanya berjuang demi masa depan negara. Kebanyakan hanya berpikir diri sendiri, sementara kita bisa memikirkan untuk banyak orang.

Hidup itu berarti kalau kamu berjuang. Karena orang yang berjuang berani mengambil resiko, Orang yang selalu berjuang dalam hidupnya tidak akan pernah mudah berleha-leha.

Bahkan faktanya, Albert Einstein hanya tidur 3 jam per tahun. Kenapa? Karena dia orang yang memperjuangkan ilmunya untuk orang banyak. Hidup ini menyenangkan kalau kamu membuka pikiran-pikiran baru dan mengambil resiko. Bukan pergi ke salon atau belanja. Karena kebahagiaan itu relatif.

Jadi, bersemangatlah jika soal UN bertambah sulit. Artinya, standar pendidikan kita sudah maju ke tingkat yang lebih baik.

Jadi, apakah sistem pendidikan di Indonesia itu salah?

Hmm... itu semua hanya tergantung waktu dan generasi muda sendiri. Karena, sedikit saja perubahan positif yang kamu lakukan hari ini, bisa menjadi efek yang besar di masa yang akan datang. Waktu terus berputar. Masa depan masih panjang jika kita menginginkannya. :)

Comments

Popular Posts